Oleh Asep Setiawan
Pendahuluan
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Makalah ini akan mengeksplorasi secara luas pengertian budaya politik dari berbagai pakar. Meskipun hanya mengemukakan berbagai pendapat tentang budaya politik diharapkan bisa memberikan gambaran konsep yang kontroversial ini.
Pola sikap dan orientasi individu
Menurut Gabriel Almond (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :
- Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan
- Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
- Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari tiga hal itu. Oleh karena itu seorang individu mungkin memiliki tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Inilah yang disebut dimensi kognitif.
Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afektif.
Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme.Dimensi-dimensi ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.
Orientasi individu dan kolektif
Walter A Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.
Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya. Inilah yang disebut “pendekatan sistem”.
Aspek politik sistem nilai
Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk mneolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam.
Obyek-obyek Orientasi Politik
Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.
Almond sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik.
- Budaya politik parokial dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada semakli terhadap sistem politik. Kelompok ini aka ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.
- Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs.
- Budaya politik partisipan adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan.
Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen tatanan politik.
- 1. Orientasi terhadap struktur pemerintah
- Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya.
- Orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan pemerintah.
- 2. Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politik
- Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.
- Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.
- “Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.
- 3. Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya
- Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.
- Political Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik.
Penutup
Meskipun pengertian budaya politik masih kabur, namun berbagai pandangan yang muncul dari pakar politik memperlihatkan upaya untuk menguraikan soal pelik ini. Dari berbagai pendapat itu memang terlihat bahwa bidaya politik terkait dengan sesuatu yang abstrak dalam kehidupan politik.
Namun kehidupan yang abstrak itu memang ada dan kadang-kadang dalam praktek mendominasi proses politik.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,
Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976
Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982
Zaenal Arifin said:
salam
hemm..kurang dalem coy, coba deh..bahas tentang orientasi politik sebagai sebuah bagian dri grand teory budaya politik..gw lagi nysun skripsi neh tentang orientasi politik..tapi kesulitan sumber, sebb sedikit sekali penelitian tentang orientasi politik, kalo lo punya sedikit materi, kita boleh sharing dong! emailku : zaenal.arifin11@gmail.com
salam
pernikahan adat said:
Begitu indah dan kaya Indonesia ini, mari bersama kita lestarikan budaya kita,, salam kenal dari Pernikahan Adat Di Indonesia
aan said:
mas…tulisannya dah bagus. aku hanya mau minta bantuannya. tolong donk bandingkan kebijakan publik malaysia dengan Indonesia.thanks
anwar said:
sdh bagus mas. coba lagi dianalisis mengenai teori budaya politik serta perbandingan budaya politik masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan.
joe said:
thx man, gw lg butuh tulisan ttg budaya politik, c guru ppl nyusahin aja, gw lg ujian, dikasih pr ky gini..
naga said:
saya ingin bertanya, apa pengertian2 dasar politik berikut :
-budaya politik partisipan
-budaya politik subjek
-budaya politik parokial
-sistem demokrasi industrial
-sistem demokrasi otoriter yang hanya sebagian industrial dan sebagian modern
-sistem demokrasi praindustrial
menurut G. almon, makasih ya bozz…
saya tunggu reply-nya
olangan ajjah! said:
akku masih blm mengerti ttg budaya politik parokial, kaula dan partisipan!
tolong dong beri penjelasan dan contoh yang jelas !
terus apa perbedaan budaya politik dan sistem(atau sistim ya?) politik?
Di tunggu repp nya!
terima kasih !
ANAH said:
mas,saya ingin bertanya:apakah anda setuju dengan perilaku para mahasiswa yang menuntut kenaikan bbm dengan cara berdemo???k-lo menurut pendapat saya tidak,karna itu sudah menjadi ketetapan pemerintah,dan akan merugikan diri mereka masing2.Thanks
joko said:
Mas kok ga dijabarkan sih Tentang jenis budaya politiknya. thks
rizkaa said:
sip2 .
makasi bgt yia , tulisannya bs ngebntu ak bkin tugas .
tp minta cntoh2nya juga dongg , dr masing2 bentuk bdaya politik yg ada ..
makasii .
malik said:
capek deh
tulisannya gak ngaruh buat gw
gak jelas ngejabarin budaya politiknya!!!
RIA said:
Saya ingin bertanya kepada Bapak mengenai masalah budaya politik dalam era globalisasi. Apa pengertian dari budaya politik itu sendiri??
RIA said:
Pertanyaan yang ke-2 :
Apa maksud kontroversial dari penggabungan budaya politik diatas yang bapak maksud?
cars_on said:
good job’s…………
bowo said:
pengertian budaya politik baik secara umum ataupun menurut para ahli
bowo said:
pengertian budaya politik secara umum maupun menuerut para ahli???
rendi said:
bagus buat yang lagi nyari definisi budaya politik, tapi lebih bagus lagi klo dikasih contoh konkrit biar orang awam jg bisa ngerti, trus konklusinya jg kudu dikaitkan dengan kehidupan masyarakat kita skrg ini dong biar semakin bermanfaat…
nano said:
sulit juga menerjemahkan secara gamblang mengenai budaya politik
menurut anda budaya politik tercipta secara linier ataukah secara siklus yang sifatnya saling menggantikan?????
dibyo said:
Saya bingung indonesia termasuk budaya politik yang mana?
– kalau masuk budaya politik kaulo kok paratai politik yang berpartisipasi banyak
– kalau masuk budaya politik partisipan mengapa ketika diadakan pemilihan umum banyak yang golput bahkan, mereka-mereka yang golput adalah orang-orang berpendidikan.
Menurut anda bagaimana mengenai itu?
saya hanya seorang pelajar kelas XI Jurusan Otomotif SMK Negeri di kota HARAPAN yang tidak tahu apa-apa.
dibyo said:
Saya bingung indonesia termasuk budaya politik yang mana?
– kalau masuk budaya politik kaulo kok paratai politik yang berpartisipasi banyak
– kalau masuk budaya politik partisipan mengapa ketika diadakan pemilihan umum banyak yang golput bahkan, mereka-mereka yang golput adalah orang-orang berpendidikan.
Menurut anda bagaimana mengenai itu?
saya hanya seorang pelajar kelas XI Jurusan Otomotif SMK Negeri di kota HARAPAN yang tidak tahu apa-apa, jadi maaf kalau menyinggug kaum terpelejar.
obet negoro, said:
thnx bngt ya buat penjelasannya,
tp klo bisa lebih terperinci lagi donk……
spaya kita lebih mengerti,
soalnya kita lagi mau ujian neh ttg budaya” politik jd kedepannya saya harap ini bisa membantu,
from: sma 1 kisaran
ok see u -;p
abror said:
saya mau tanya …
bagaimana sosialisasi itu dapat membentuk budaya politik….?
terima kasih
ajiz said:
lebih bahaya mana politik, ekonomi dan budaya di negara kita….?
tolong di jawab
ran said:
tolong minta proses2nya y,,
thx..
fadila said:
kok ga da definisi / pengertian dari budaya politik dari para ahlinya????????????????
kan byar lebih jelas…. thx
piyo-piyo said:
Numpang nanya gan, kalo bdy poliik: demokrasi industrial, otoriter n pra-industri contoh2nya negaranya dibenua asia(kec indo), afrika n eropa apa aja y?
yussi said:
aku minta materi donk tentang budaya politik yang lengkap . sama macam macamnya . tapi diatas dah cukup jelas sih .. thx infonya
very said:
budi anduk coy
Hendrik said:
tolong dong maw tanya nih..
dalam budaya politikan ada 4 macam,
1. Parokial
2. Kaula
3. Partisipan
4. campuran
contoh dari masing2 itu apa aja yah? pliss tq yah
minimal contoh (5)..
floverxia said:
tq ya info’y q jd ngrti tntng bdya plitik,pi q mcih bngung ne tnntng insan pltik,jlz’in donx..q tnggu ya^^
dini said:
tolong berikan 3 contoh dalam kehidupan shari-hari tentang budaya parokial
budaya kaula
budaya partisipan. thanks sblum na oky
janah said:
maaf pak mau tanya..
apa bentuk2 dari budaya politik partisipan itu sendiri…
andi said:
exc… sry…bang…bang… mw tnya ne… apa yg di maksd dg budaya politik abangan. santri. ma priyayi bang..? trus dr masing2x budaya politik tlg di jelasing dunxx kelebihanya kekurangannya n jg ciri2x nya ya bang……thx
Helmy said:
Mas, obyek politik i2 pengertianx sbnarx ap? Q bingung ga ketemu2.
deasy fitria said:
biasa aja
andi said:
thank’s atas informasinya dan pertolongannya atas pemberitahuan ttg mslh ku ini, jdi ku tdk ssh lgi mencari!!!!!!
hanydesilia s said:
iih
pengertiannya yang mana pak?
ko berbelit-belit?
pusing deh…
fahrul said:
tolong dong di perlengkap
luck2 said:
negesi
tata said:
hallow…thnxq atas infonya…meski kurang rinci…tpi bgi gw it’s enough…menurut gw ne dia yg gue cari…hmm…tambahan budaya politik indo itu masuk subjek kaula ya….gw lht ada yg comment di b log ne n tanya…itu jawabannya….meskipu n partai politik banyak, tpi jarang masyarakat yg mau berpartisipasi…berbeda dg luar negri yg dikit partai tpi byak masyarakat yg berpartisipasi….so, bnyknya partai politik ga selalu dipandang byknya nya partisipasi politik ….gbu
icha said:
duh kurang dlm euy pembahasannya -___-
Editor said:
Maaf tidak semua permintaan bisa dikabulkan, ada yang bisa melengkapinya, silahkan kunjungi juga http://www.theglobalpolitics.com
alien said:
Partisipasi Politik
Di negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan. Partisipasi politik merupakan aspek yang sangat penting dan merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Di negara yang kehidupan masyarakatnya masih tergolong tradisional dan sifat kepemimpinan politiknya ditentukan oleh segolongan elit penguasa, maka partisipasi warganegara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan dan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara relatif sangat rendah. Sementara itu di negara yang proses modernisasi politiknya telah berjalan baik, maka tingkat partisipasi politik warganegara cenderung meningkat.
Mengacu pendapat Budiardjo (2003), Huntington dan Nelson (2001), pengertian partisipasi politik mencakup:
(a) kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan politik,
(b) dilakukan oleh warganegara biasa dan bukan oleh pejabat pemerintah,
(c) dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah,
(d) semua kegiatan untuk mempengaruhi pemerintah terlepas tindakan itu efektif atau tidak, dan berhasil atau gagal,
(e) dilakukan secara langsung oleh pelakunya sendiri maupun secara tidak langsung melalui perantara.
Milbrarth dan Goel (1997) membedakan partisipasi politik menjadi empat kategori, yaitu
(a) apatis, artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik,
(b) spektator, artinya orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum,
(c) gladiator, yakni mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, seperti aktivis partai, pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat, dan
(d) pengritik, yaitu partisipasi dalam bentuk non-konvensional.
Di negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, partisipasi warganegara senantiasa ditumbuhkembangkan dalam segala aspek kehidupan karena program pembangunan akan berhasil jika didukung oleh partisipasi warganegara yang makin meluas. Untuk itu pembangunan politik di Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas pendidikan politik, memantapkan etika dan moral budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa, yaitu Pancasila, dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan warganegara tentang berbagai kewajiban dan haknya sehingga mereka mampu dan mau berperan aktif dalam kegiatan politik.
Kendatipun para ahli sependapat bahwa jumlah orang yang mengikuti kegiatan yang tidak intensif, yaitu tidak menyita waktu dan tidak atas prakarsa sendiri, seperti kegiatan berpartisipasi dalam pemilihan umum biasanya cukup besar, namun ternyata fakta objektif menunjukkan sebaliknya. Hal ini terjadi di Indonesia, yaitu tingkat partisipasi politik warganegara terutama dalam menggunakan haknya pada pemilihan umum ternyata mengalami penurunan dari waktu ke waktu, Dari pangalaman menyelenggarakan pemilu sejak Orde Baru, gejala ke arah tidak menggunakan hak pilih (golput) mengalami kenaikan. Hal ini terbukti dari data tingkat partisipasi warganegara dalam pemilihan umum dan yang golput sejak pemilihan umum tahun 1971 sampai dengan 2004 nampak bahwa jumlah partisipasi politik tertinggi selama pemilu sejak era Orde Baru terjadi pada tahun 1971, yaitu mencapai 94 %, sedangkan yang golput 6 %. Hal ini dapat dimengerti karena pemilu 1971 merupakan pemilu pertama era Orde Baru sehingga masyarakat memiliki antusias yang sangat tinggi karena mereka berharap akan terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi ini ternyata mengalami perubahan pada pemilu 1977, karena tingkat partisipasi menurun menjadi 90,6 % dan berarti yang golput meningkat menjadi 9,4 %. Nampaknya ada kekecewaan dari sebagian masyarakat karena mereka tidak merasakan ada perubahan sehingga mereka memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada pemilu 1982, 1987, 1992, dan pemilu 1997 tingkat partisipasi politik makin menurun dan angka golput makin meningkat.
Namun demikian, pada pemilu 1999 tingkat partisipasi warganegara Indonesia meningkat lagi menjadi 93,3 % dan hanya 6,7 % yang golput. Sebagaimana diketahui bahwa pemilu 1999 merupakan pemilu pertama era reformasi, sehingga warganegara kembali antusias berpartisipasi dalam pemilu karena mereka berharap terjadi perubahan dalam kehidupan politik, seperti demokratisasi, desentralisasi, hak asasi manusia yang menjadi bagian dari tuntutan reformasi. Namun pada pemilu 2004, lagi-lagi tingkat partisipasi warganegara dalam pemilu mengalami penurunan 4,9 % menjadi 84, 4 %, berarti angka golput mengalami kenaikan menjadi 15, 6 %. Warganegara nampaknya juga kecewa dengan pemilu sebelumnya yang diharapkan dapat membawa perubahan di negara ini tetapi ternyata tidak terwujud.
Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan
Kekerasan merupakan salah satu kejahatan struktural yang paling berbahaya. Kekerasan yang sulit dibongkar adalah kekerasan psikologis yang dipakai dalam sistem sosial politik (Haryatmoko, 2003). Secara sistematis bentuk kekerasan ini lazimnya diterapkan oleh penguasa otoriter untuk menghadapi lawan politik, melemahkan oposisi, dan sejenisnya. Kekerasan psikologis terkait dengan kekerasan negara atau kekerasan yang terlembagakan. Dinamakan kekerasan yang terlembagakan karena kekerasan ini bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan tetapi didukung oleh bangunan sistem sosial dan politik yang mendapat legitimasi dari sistem nilai dan ideologi.
Di negara-negara dunia ke tiga pada umumnya, kekerasan yang dilembagakan ini memakan korban, seperti kelompok minoritas dan kaum oposisi. Mereka yang dipandang musuh oleh negara, yaitu kelompok yang tidak sesuai dengan politik penguasa maka secara sistematis akan menjadi korban kekerasan ini.
Kekerasan sebagai alat untuk memberikan hukuman bagi para pelanggar kekuasaan atau tatanan sosial telah mengalami pergeseran makna karena kekerasan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Artinya kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap penguasa menjadi diperbolehkan terhadap rakyat biasa dan terhadap lawan politik dari penguasa. Sementara itu dalam kekerasan structural, terdapat dialektika antara pelaku dengan struktur. Penguasa cenderung mengatasnamakan hukum dan ketertiban untuk melegitimasi perilaku kekerasan. Sementara pihak oposisi juga dapat melakukan kekerasan karena merupakan reaksi atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan penguasa.
Perilaku kekerasan juga disebut dengan istilah agresi, yaitu untuk menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, tidak hanya meliputi tindakan yang bersifat pisik, melainkan juga mencakup kekerasan verbal, psikologis, dan simbolis, atau kombinasi dari berbagai aspek tersebut. Pendapat ini didukung oleh Semin & Fiedler (1996), Berkowitz (1999), dan Suryabrata (2000).
Teori perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, yaitu
(1) teori belajar sosial,
(2) teori insting,
(3) teori kepribadian,
(4) teori kognitif, dan
(5) teori frustasi agresi.
Teori Belajar Sosial.
Menurut Bandura (dalam Thalib, 2003) perilaku individu pada umumnya dipelajari secara observasional melalui model, yaitu mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk dan kemudian menjadi informasi penting dalam mengarahkan perilaku. Sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model.
Contoh kegiatan demonstrasi yang dilanjutkan dengan tindakan anarkhis (membakar ban di tengah jalan, merobohkan pintu gerbang, bentrok dengan aparat keamanan, dan sebagainya) dapat menjadi model perilaku kekerasan bagi para demonstran.
Teori Insting.
Teori Freud mengenai insting kerap mengundang kontroversi. Teori ini menegaskan bahwa timbulnya perilaku kekerasan adalah karena insting, yaitu perwujudan psikologis dari suatu sumber rangsangan somatik dalam yang dibawa sejak lahir sehingga semua orang mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan. Semula Freud mengemukakan bahwa perilaku kekerasan itu berkaitan erat dengan energi libidoseksual, jika insting seksual ini mengalami hambatan maka timbullah perilaku kekerasan. Selanjutnya Freud mengemukakan dikotomi energi positif dan energi destruktif yang keduanya diduga memiliki dasar biologistik yang harus terwujud dalam perilaku nyata. Jika energi destruktif mengarah ke pihak luar maka menjadi pemicu perilaku kekerasan terhadap orang lain, sedangkan jika mengarah pada diri sendiri maka dapat mendorong keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau perilaku bunuh diri.
Teori Kepribadian.
Sifat-sifat kepribadian sebagai sifat internal berkorelasi dengan perilaku kekerasan termasuk erosi kontrol internal terhadap sikap cepat marah (Ravinus dan Larimer, 2003). Anak yang mengalami gangguan seperti cepat marah dan mudah menyerang cenderung mengembangkan pola perilaku kekerasan pada usia selanjutnya. Dengan demikian faktor temperamen yang merupakan bagian dari komponen kepribadian berkaitan dengan perilaku kekerasan.
Teori Kognitif.
Konsep dasar teori kognitif mengacu pada kegiatan mental yang tidak dapat diubah begitu saja dalam menjelaskan perilaku sosial dengan postulat yang sesungguhnya seperti persepsi, pikiran, intensi, perencanaan, keterampilan, dan perasaan. Teori kognitif sosial menekankan pentingnya interaksi resiprokal faktor-faktor individu sebagai penentu perilaku kekerasan. Kecenderungan perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan mengacu pada teori kognitif.
Teori Frustasi-Agresi.
Terjadinya frustasi adalah jika seseorang tidak dapat memiliki sesuatu yang diinginkan pada waktu orang tersebut benar-benar memerlukannya. Dollard et al (dalam Wimbarti, 1996) berkeyakinan bahwa setiap tindakan agresi dan kekerasan pada akhirnya dapat dilacak penyebabnya dalam kaitannya dengan frustasi. Frustasi merupakan salah satu faktor penentu agresi dan kekerasan.
Partisipasi Politik dan Perilaku Kekerasan di Indonesia
Selama Orde Baru berkuasa, jarang sekali dikaji mengenai politik yang menyinggung tentang kemungkinan pemerintahan yang cenderung otoriter, ternyata memberikan kontribusi terhadap ketertiban sosial karena dapat meredam kekerasan dalam masyarakat. Hal ini menurut Cribb (2005) disebabkan oleh dua hal, yaitu
(1) sejak zaman penjajahan sudah muncul opini bahwa masyarakat tradisional Indonesia adalah masyarakat yang damai. Belanda juga memberikan gambaran tentang orang Jawa sebagai manusia yang paling lembut di muka bumi,
(2) berkembangnya ide bahwa Orde Baru merupakan suatu kekuatan untuk kedamaian sosial sebagai lawan dari adanya pembantaian massal yang dilakukan oleh para anggota PKI pada tahun 1965. Hal ini berbeda dengan masa Orde Lama yang mengutamakan kehidupan politik sehingga politik dianggap sebagai “panglima”
Selanjutnya perilaku kekerasan dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terutama saat kampanye dan setelah partai atau calonnya mengalami kekalahan, demonstrasi yang berakhir dengan tindakan anarkhis, bentrokan antara kelompok yang setuju dan menolak terhadap suatu kebijakan, perilaku kekerasan dalam persidangan baik dalam persidangan lembaga legislatif maupun yudikatif dan berbagai peristiwa kekerasan lainnya menjadi pemandangan yang biasa pada era reformasi ini.
Menurut Klinken (2005) perilaku kekerasan di Indonesia justru bermunculan pada saat bangsa ini memasuki era reformasi. Bahkan daftar perilaku kekerasan pada era reformasi ini menjadi lebih panjang dari masa sebelumnya. Masalah Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah konflik melawan Negara yang melahirkan banyak perilaku kekerasan pasca Orde Baru.
Di samping itu juga terjadi perilaku kekerasan di berbagai daerah seperti
(a) Poso Sulawesi Tengah (1998-2001)
(b) Ambon dan Maluku Selatan (1999-2002),
(c) Kalimantan Barat (1999-2001),
(d) Maluku Utara (1999-2001), Kalimantan Tengah (2001), dan yang masih sangat hangat segar dalam ingatan kita, terjadi di Sumatera Utara (2009).
Perilaku kekerasan yang tejadi di Poso dan Kalimantan Tengah berkaitan dengan kontrol atas kabupaten-kabupaten yang diatur dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru. Perilaku kekerasan di Ambon terkait dengan persepsi mengenai ancaman dan kesempatan bagi umat beragama di seputar kontrol atas Negara berkenaan dengan kegiatan pemilihan umum, sedangkan perilaku kekerasan di Maluku Utara dan Kalimantan Barat berkaitan dengan pembentukan provinsi dan kabupaten baru. Perilaku kekerasan yang menimbulkan kurban jiwa, yaitu meninggalnya ketua DPRD Propinsi Sumatera Utara juga berkaitan dengan tuntutan masyarakat untuk memaksakan kehendak dalam mewujudkan terbentuknya provinsi baru di Tapanuli.
Reposisi Pendidikan Politik di Indonesia
Pada era reformasi ini, berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga riset, menghasilkan kesimpulan yang memprihatinkan kita semua, karena tingkat partisipasi warganegara dalam memberikan suaranya pada pemilihan umum langsung cenderung mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat golput dalam pemilihan presiden langsung untuk pertama kalinya tahun 2004 yang mencapai angka 21, 67 % (tingkat partisipasi 78,33 %) pada putaran pertama, kemudian naik lagi menjadi 23, 37 % (tingkat partisipasi menurun menjadi 76,63 %) pada putaran ke dua. Kondisi ini terus mengalami kenaikan pada pemilihan kepala daerah langsung di berbagai daerah yang terjadi akhir-akhir ini yang rata-rata mencapai angka 37 %, berarti angka partisipasi warganegara menurun menjadi rata-rata hanya 63 %.
Kecenderungan peningkatan angka golput dan penurunan angka partisipasi warganegara dalam menggunakan hak pilihnya, diprediksi juga akan terjadi pada pemilihan umum anggota legislatif tahun 2009 yang tinggal 13 hari lagi. Pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 yang akan datang, tidak ada jaminan bahwa partisipasi warganegara untuk menggunakan hak pilihnya akan meningkat. Kendatipun Komisi Pemilihan Umum mengharapkan tingkat partisipasi warganegara mencapai 80 %, namun diperkirakan angka tersebut juga tidak mudah untuk dicapai. Apabila hal ini terjadi, maka patut disayangkan karena pemilu 2009 dinilai sebagai pemilu yang menentukan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, lebih demokratis, damai, dan sejahtera. Betapa tidak, setelah pemilu 2004 dan 1999 melahirkan banyak wakil rakyat yang kurang membela kepentingan rakyat karena lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan atau golongan, maka pemilu 2009 harus dapat dijadikan wahana koreksi total dan pertaruhan apakah kita akan terus mendapatkan wakil rakyat yang kemudian banyak yang korupsi dengan tidak mau menggunakan hak pilih atau dengan sepenuh hati kita menggunakan hak pilih sehingga dapat melahirkan wakil rakyat yang memiliki integritas, jujur, membela kepentingan rakyat, dan bahkan amanah. Tentu saja keputusan berada di tangan kita semua.
Pada dasarnya, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecenderungan menurunnya partisipasi warganegara dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu:
(1) daftar pemilih tetap sering tidak valid,
(2) apa yang diperjuangkan oleh para wakil rakyat tidak mencerminkan aspirasi mereka
(3) warganegara merasakan bahwa menggunakan hak pilih atau tidak, ternyata tidak ada nilainya atas diri mereka,
(4) munculnya apatisme warganegara yang merasa bahwa adanya pemilu, partai politik, dan adanya foto-foto calon legislatif, tidak akan dapat merubah nasib mereka (seperti yang disampaikan warga yang terkena Lumpur lapindo),
(5) kurangnya sosialisasi tentang sistem dan mekanisme pelaksanaan pemilu,
(6) adanya pihak yang merasa kecewa terhadap pemerintah, kemudian mengajak golput
(7) timbulnya kesadaran dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya, akibatnya jika partai politik tidak mampu mengajukan calon yang sesuai dengan kriteria mereka, maka mereka cenderung golput.
Untuk mengantisipasi dan memberi solusi terjadinya penurunan angka partisipasi warganegara dalam menggunakan hak pilihnya, maka perlu ditingkatkan efektivitas pendidikan politik bagi warganegara di Indonesia. Para ahli ilmu sosial menggunakan istilah pendidikan politik untuk menunjukkan cara bagaimana anak-anak sebagai generasi muda diperkenalkan pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, serta bagaimana mereka mempelajari peranan-peranan yang akan dilakukan di masa mendatang jika kelak sudah dewasa (Sukemi, 2004). Pendidikan politik di Indonesia adalah pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran politik yang tinggi bagi warganegara, sehingga mereka sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu mata pelajaran Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kelompok mata pelajaran yang memiliki misi seperti itu.
Dengan mengacu pada pendapat Apter (1985), Almond (1991)Rush dan Althof (1998), Surbakti (1999), dan Sukemi (2004), pendidikan politik yang dapat membentuk sikap dan perilaku politik warganegara dapat dilaksanakan melalui lembaga-lembaga berikut :
(1) keluarga,
(2) lembaga pendidikan,
(3) teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/seprofesi (peergroup),
(4) media massa, dan
(5) organisasi politik.
Pendidikan Politik melalui Keluarga. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam kehidupan seseorang, sehingga menjadi lembaga yang pertama kali membentuk watak dan kepribadian serta perilaku anak. Di lingkungan keluarga, orang tua berperan mengajarkan anaknya untuk mengenal masyarakat, bangsa, dan negaranya selaras dengan nilai-nilai budaya yang ada. Pendidikan Politik melalui Lembaga Pendidikan.
Lembaga pendidikan mempunyai misi untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai bagi anak. Di lembaga pendidikan yang merupakan bentuk masyarakat kecil terdapat jaringan kerja dari sejumlah komponen yang saling terkait, seperti guru, siswa, kepala sekolah, administrator sekolah, dan supervisor (Sukemi, 2004).
Secara teoritik, jenjang pendidikan warganegara berpengaruh positif terhadap partisipasi politik termasuk partisipasi dalam pemilihan umum, sebagaimana dikatakan oleh Warren (1991) “….well educated citizens are more likely to vote than poorly educated sitizens”. Namun demikian pada dataran praksis terjadi sebaliknya, artinya justru dalam kenyataannya warganegara yang berpendidikan lebih tinggi cenderung tidak menggunakan haknya atau golput dalam pemilihan umum.
Pendidikan Politik melalui Teman Sebaya/Sepergaulan/Sepermainan/ Seprofesi (peergroup). Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah insan politik (zoon politicon) sehingga senantiasa merasa saling ketergantungan, keterkaitan, dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Salah satu kelompok sosial yang menjadi ajang seseorang untuk hidup dengan orang lain adalah teman sebaya/sepergaulan/sepermainan/ seprofesi (peergroup). Unit sosial ini mempunyai peranan sebagai media pendidikan politik yang selanjutnya dapat membentuk sikap dan partisipasi politik warganegara.
Pendidikan Politik melalui Media Massa. Di dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, manusia senantiasa melakukan komunikasi, baik secara langsung maupun melalui media. Dengan komunikasi, manusia saling mempengaruhi sehingga dapat terbentuk wawasan dan pengalaman yang serupa. Surat kabar, majalah, radio, film, telepon, dan televisi merupakan media yang memungkinkan sumber informasi termasuk bidang politik dapat menjangkau audien dalam jumlah besar dan tersebar luas.
Pendidikan Politik melalui Organisasi Politik atau Partai Politik. Yang dimaksud dengan organisasi politik atau partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warganegara secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Salah satu fungsi organisasi politik adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi anggotanya dan warganegara pada umumnya.
Penutup
Partisipasi politik warganegara Indonesia terutama dalam memberikan hak suaranya pada pemilihan umum sejak era orde baru, mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini merupakan akumulasi dari kekecewaan yang dialami oleh warganegara karena pemilu yang diharapkan merupakan wahana untuk mewujudkan perubahan dalam segala bidang kehidupan menuju ke arah yang lebih baik, ternyata tidak kunjung tiba. Bahkan sebagian dari mereka merasa dikhianati oleh perilaku para anggota legislatif yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mereka.
Perilaku kekerasan merupakan fenomena yang mendominasi dalam melakukan partisipasi politik di Indonesia. Hampir setiap saat terjadi bentrokan antara kelompok yang mendukung dan menolak kebijakan pemerintah, juga maraknya demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi yang berakhir adanya bentrokan dengan aparat disertai tindakan anarkhis. Bahkan perilaku kekerasan juga memasuki ruang persidangan lembaga legislatif tingkat pusat dan daerah maupun dalam persidangan lembaga yudikatif.
Jika dikaitkan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, sebenarnya perilaku kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi sama sekali tidak berakar pada budaya bangsa karena bangsa Indonesia memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Falsafah hidup yang mengutamakan kebersamaan, kekeluargan, gotong royong, tolong menolong, tenggang rasa, tepo seliro, ramah tamah, pemaaf, musyawarah untuk mufakat, persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, dan toleransi merupakan karakteristik kepribadian yang sesuai dan berakar pada budaya bangsa Indonesia.
Peningkatan partisipasi politik warga negara perlu diupayakan secara terus menerus dengan tanpa diikuti oleh perilaku kekerasan. Berbagai upaya dapat ditempuh dengan pendidikan politik baik melalui keluarga, lembaga pendidikan, media massa, peer group, dan organisasi politik. Di samping itu juga perlu dilakukan reposisi dan refungsionalisasi lembaga pendidikan agar di samping dapat berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni juga mampu menanamkan nilai-nilai budaya yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Ping-balik: Budaya Politik Iran dan Rusia dalam Menghadapi Hegemoni Barat (Amerika Serikat dan Sekutunya) « Bacaan Materi Hubungan Internasional
mayowan said:
yang paling jelas di Indonesia adalah ketidak jelasan itu yang kutahu,,,partai politik mestinya membawa agenda yang jelas, agenda tersebut jelas ketika kampanye tetapi kalo partai tersebut berkuasa,,lunturlah agenda itu,,,sepertinya berbenturan dengan budaya, struktur dan kebiasaan di dalam pemerintahan yang sangat mengakar,,untuk mengubahnya menjadi seperti yang di agendakan juga terbentur tembok keras,,partai politik yang lain seperti saat ini yang kalah suara dengan partai penguasa masih bisa memanfaatkan media massa dan tokoh politik nasional atau mantan tokoh politik atau tokoh yang mempunyai pengaruh kuat…
intinya indonesia mempunyai strukturnya sendiri yang tidak bisa mudah dipahami dengan teori dari barat..
politik indonesia adalah politik indonesia,,teori dari barat hanya pelengkap,,sebelum ada teori yang paling pas dari kesejarahan dan budaya bangsa yang masuk dalam teori baru,,baru teori tersebut bisa dipakai untuk menangani masalah dalam negeri sendiri…
komunis pasti ditentang…sosialis begitu juga,,humanis apalagi,,liberal pun di tentang walau diterapkan,,,partisipasi juga tidak bisa diterapkan karena hanya pemanis bibir,,terlihat ketika proses bottom up tidak berjalan sebagaimana mestinya,,musrenbang dari tingkat rt sampai nasional hanya membawa misi penguasa,,penyusunan rpjp meninggalkan keterlibatan masyarakat..
budaya politik kita..masih budaya politik seperti jaman dahulu,,bersifat kerajaan yang penuh dengan intrik politik, tidak mudah mendapatkan komitmen teman atau lawan politik dalam menerapkan agendanya,,mudah tertiup angin perubahan,,mudah teriming imingi segala bentuk materi dan kekuasaan,,,idealisme pembangunan masih jauh dari harapan hanya tinggal mimpi,,melalu budaya politiknya..terlihat hanya jadi pemanfaatan beberapa orang yang mengambil keuntungan di dalamnya..kenapa???ingat kita berbudaya kerajaan,,,yang di kira apa di pegang dan dijabatnya adalah miliknya,,,demokrasi??demokrasi model apa??kenapa kita suka mengatakan demokrasi ketika kita bukan demokrasi,,apakah takut kita black list AS dan kroninya,,bukankah kita hanya demokrasi di permukaan sedangkan didalmnya bukanlah demokrasi..demokrasi??negara komunis juga menyebut dirinya negara demokrasi, kita dulu juga ada demokrasi kepemimpinan, demokrasi apalagi,,pancasila,,kita negara unik yang mempunyai bentuknya sendiri dan tidak bisa negara lain menyamai negara kita,,beribu ras dan suku hidup relatif tentram di dalamnya..termasuk potensi didalamnya,,namun sayang belum termanfaatkan dengan optimal.
(tulisan tanpa sandaran teori,,,hanya berdasarkan pengamatanku semata)
budaya masyarakatlah yang mempengaruhi budaya politik kita, apa yang terjadi dalam keluarga dan lingkungan kecil kita di bawa sampai ketingkat teratas
contoh: kita berbudaya masyarakat yang latah…
berdengung kata demokrasi kita ikut demokrasi,,
berdengung pesta sepeda santai,,hampir semua memakai sepeda santai
berdengung mode pakaian tertentu,,,hampir semua memakainya
berdengung tetangga memakai mesin cuci baru,,,hampir semuanya ikut membeli
berdengung sekolah keluar negeri berarti keren,,,hampir semuanya ikut sekolah keluar negeri (beasiswa)
kita lupa akan jati diri
kita lupa akan substansi
kita lupa kenapa kita bernegara
kita lupa kenapa pancasila dibuat
kita lupa kenapa UUD 45 di buat
inti budaya politik kita ada dalam kedua sendi kehidupan bernegara = pancasila dan UUD 45..
sampai sekarang sedikit sekali yang paham betul akan subtansi pancasila,,kalaupun ada diantara penguasa kita yang paham,,maka pancasila seakan ditinggalkan,,dipakai ketika berada pada posisi terancam..
berkenaan dengan partisipasi dan urun rembug tingkat masyarakat kecil
budaya kita tidak mengenal partisipasi dari setiap orang,,yang dikenal adalah budaya perwakilan,,kepada siapa yang ia menitipkan suaranya untuk diperdengarkan,,jarang sekali masyarakat kita berani mengungkapkan dengan lantang keinginannya ketika ada urun rembuh,,ia lebih memilih tokoh masyarakat di sekitanya untuk dititipi pendapatnya..
untuk mengubah ini membutuhkan waktu yang lama,,,kalo ingin mengembangkan,,berarti lebih mengembangkan pendidikan politik para tokoh masyarakat agar mampu menjaring suara dari setiap orang..
kita tinggal memilih,,,mengubah budaya kah? atau mengembangkan budaya yang ada?
phoet said:
bagaimana dengan “politik budaya”?
sama kah? klo tidak/iya tlg berikan alasan…
klo tidak , bs nta tolong bt carikan konsepnya?
thx b4…
Moch.Trianto said:
Akhir-akhir ini memang budaya politik kita semakin hancur,sebagai contoh adalah banyak orang-orang yang ingin menjadi pemimpin di kalanggan pemerintahan hanya karena ingin melakukan spekulasi bukan karena jiwa pembangunan yang berasal dari dalam dirinya.Seakan-akan pemerintahan kita penuh dengan bisnis yang di kemudihi oleh penjabat negara kita sendiri,yang dimana itu semua secara tidak langsung membawah dampak bagi masyarakat yang kesejateraannya semakin memburuk.
Untuk kedepanya Negara kita hanya ingin mencari para pemimpin yang berbudi luhur,benar-benar ingin melaksanakan perintah sesuai yang telah diamanatkan oleh ideologi negara kita bukan karena inteligensi yang tinggi.
oxt said:
nice info gan lumayan buat contekan hehehehe…
cc said:
tipe budaya politik campurannya kok g da y……………
Monica A P said:
Thanx ya, it’s helping my homework.
nuy said:
dwuh. nuy gi bingung……….. pa ci pengertianmosi tdk prcaya, protes, potisi, oposisi??????????
cya said:
kurang mendalam padahal dah bagus topik pembahasannya baru 😥
putri said:
..mazt qwh mw tanya ,,, apa wujud/ bentuk dari budaya politik dimasyarakat … baik positif maupun negatif … jwab iiea coalnya nuii tugas …. makacihh 😉
yunus said:
aq mau na ny kak konesp budaya politik ada gak ya kalau ada tampilkan dong
Moderator said:
Menurut Gabriel Almond (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik
mei said:
mau tanya dunkkkkkk
niee said:
saya masih belum mengerti tentang pengertian budaya poitik periyayi secara luas,,,,
tolong jelaskan!!!!!!?????
amirul said:
waaah pak, sangat membantu pekerjaan rumah saya, makasih banget yaaa, 🙂
rinawati said:
coba uraikan pengertian budaya politik di era globalisasi dan pa pngruhny?????
icha said:
kurang dlm euy pembahasannya