Tag

, ,

Globalisasi dan Tantangan Demokrasi di Asia

 

Oleh

ASEP SETIAWAN

 

 

 

 

Pendahuluan

Negara-negara di Asia pasca Perang Dunia II banyak yang meniru kerangka demokrasi negara-negara di Barat. Demokrasi menjadi pilihan selepas kolonialisme Barat dengan pandangan bahwa sistem politik modern ini akan menjamin kekuatan dan kesejahteraan. Pilihan atas sistem demokrasi ini diperkuat dengan peningkatan globalisasi dalam beberapa dasa warsa ini.

Namun demikian sebagian negara masih menganut sistem otoriter seperti di Korea Utara, system demokrasi berasaskan ideologi komunis seperti di Tiongkok dan Vietnam. Ada pula negara yang menganut demokrasi tetapi mempertahankan monarki seperti Thailand dan kesultanan seperti Malaysia.  Indonesia memeluk demokrasi dengan berbagai penafsiran  sejak merdeka 1945 seperti halnya juga terjadi di India.

Apa tantangan globalisasi terhadap demokrasi di negara-negara Asia ? Bagaimana globalisasi memberikan tekanan kepada demokrasi di Asia? Dan apakah pilihan terhadap demokrasi merupakan harga mati ? Untuk itu akan dikaji terlebih dahulu pro kontra terkait globalisasi dengan demokrasi. Selanjutnya tulisan ini  akan membahas bagaimana globalisasi memberikan dampak kepada perkembangan demokrasi di Asia.

 

Globalisasi dan Demokrasi

Setidaknya terdapat tiga pandangan besar terkait globalisasi dan kaitannya dengan demokrasi (Li dan  Reuveny, 2003). Pandangan pertama seperti dijelaskan Li dan Reuveny berpendapat bahwa globalisasi mendukung terjadinya demokratisasi. Mereka yang menyetujui bahwa globalisasi mendorong demokratisasi terbagi kedalam tujuh variasi. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa globalisasi mendorong pembangunan ekonomi seperti Schumpeter (1950), Held (1992), Platner (1993), Weitzman (1993), Bhagwati (1994), Lipset (1994), Muller (1995), Im (1996). Kelompok kedua menyebutkan bahwa globalisasi meningkatkan tuntutan bisnis internasional untuk demokrasi seperti diajukan Kant (1795), Bhagwati (1994), Schmitter (1996), Oneal and Russett (1997, 1999). Namun kelompok ketiga memandang bahwa globalisasi mengurangi porsi penguasa otoriter untuk mempertahankan kekuasaannya, pandangan yang didukung oleh Rueschemeyer and Evans (1985), Diamond (1994), Drake (1998).

Variasi keempat yang juga mendukung argumen bahwa globalisasi memajukan demokrasi karena globalisai mengurangi biaya lalu lintas informasi, meningkatkan kontak dengan negara demokrasi lainnya dan membuat organisasi pro demokrasi dan organisasi non pemerintah di tingkat internasional lebih efektif. Pandangan ini didukung oleh Rueschemeyer and Evans (1985), Diamond (1994), Drake (1998) Van Hanen (1990), Brunn and Leinback (1991), Diamond (1992), Schmitter (1996), Kummell (1998), Keck and Sikkink (1998), Risse and Sikkink (1999), Boli and Thomas (1999)

Mereka yang menyatakan ada kaitan dengan demokrasi yang mendorong terjadinya desentralisasi negara oleh penguasa otoriter adalah Self (1993), Sheth (1995), Roberts (1996). Sedangkan mereka yang melihat bahwa globalisasi memajukan kelembagaan domestik yang mendukung demokrasi adalah Roberts (1996), Stark (1998), Keck and Sikkink (1998), Fruhling (1998), Risse and Sikkink (1999), Boli and Thomas (1999). Sebagian lagi memandang bahwa globalisasi mengintensifkan penyebaran gagasan demokratis seperti Kant (1795), Whitehead (1986,1996), Huntington (1991),Starr (1991), Przeworskiet (1996).

Pendapat besar kedua menilai bahwa globalisasi dapat menghambat demokrasi. Di sini terdapat tujuh variasi dimana masing-masing memiliki argumen sendiri. Variasi pertama menilai bahwa globalisasi mengurangi otonomi kebijakan negara dan membawa kebijakan yang memihak kepada investor asing bukan kepada publik lebih luas di dalam negeri. Pandangan ini didukung oleh Lindblom (1977), Held (1991),Diamond (1994), Gill (1995),Jones (1995), Gray (1996),Schmitter (1996), Cox (1997), Cammack (1998).

Bagi sebagian pakar seperti Drucker (1994), Muller (1995),Bryan and Farrel (1996),Beck (1996), Cox (1996), Moran (1996), Marquand (1997),  Rodrik (1997), Martin and Schumann (1997), Longworth (1998), globalisasi menyebabkan banyaknya pelaku domestik kalah serta menghilangkan kemampuan negara untuk memberikan kompensasi kepada mereka.

Sementara itu Im (1987), Diamond (1992, 1999), Haggard and Kaufman (1995),MacDonald (1991), O’Donnell(1994), Trent (1994), Cammack (1998) berpendapat bahwa globalisasi mmeungkinkan pergerakan cepat uang diantara negara yang menyebabkan seringnya menyebabkan krisis neraca pembayaran dan ketidakstabilan ekonomi domestik.

Globalisasi  bagi sebagian pakar juga memperdalam perbedaan etnik dan kelas serta dapat menghapus basis budaya nasional untuk demokrasi. Pandangan ini didukung Robertson (1992), Dahl (1994) dan Im (1996).

Globalisasi juga dianggap memungkinkan negara dan Multi National Corporations menguasai dan memanipulasi informasi yang disampaikan kepada publik. Pendapat ini didukung oleh Gill (1995), Im (1996), Martin and Schumann (1997).

Adapun pandangan bahwa globalilasi mengurangi konsep kewarganegaraan unsur yang penting untuk berlangsungnya proses demokrasi yang stabil dianut oleh Whitehead (1993), O’Donnell (1993), (1996), Sassen (1996), Cox (1997), Boron (1998).  Globalisasi memperlebar jurang ekonomi antara Utara dan Selatan diajukan oleh Wallerstein (1974), Bollen (1983),Tarkowski (1989), Przeworski (1991), Gill (1995), Amin (1996), Cox (1996), Im (1996), Kummell (1998)

Diantara dua pendapat besar yang bersilangan itu terdapat pandangan bahwa fenomena globalisasi itu tidak otomatis mempengaruhi demokrasi. Diantara pandangan ini sebagian mengatakan globalisasi terlalu dibesar-besarkan seperti disebutkan oleh Scharpf (1991), Jones (1995), Wade (1996), Hirst and Thompson (1996), Hirst (1997). Sedangkan Frieden and Rogowski (1996), Garrett (1999). berargumentasi bahwa globalisasi tidak menjadikan negara tidak berdaya. Bahkan pengaruh globalisasi terhadap berbagai negara juga bervariasi seperti disebutkan oleh Haggard and Kaufman (1995), Milner and Keohane (1996), Frieden and Rogowski (1996), Longworth (1998), Armijo (1998).

Tiga varian terhadap globalisasi dan demokrasi menunjukkan bahwa tidak ada pandangan tunggal mengenai relasi kedua fenomena tersebut. Dalam kajian lebih mendalam terhadap globalisasi dan demokrasi ditemukan bahwa banyak sekali penggabungan dengan unsur-unsur lokal dan budaya yang menyebabkan kombinasi itu juga menghasilkan bermacam penafsiran demokrasi termasuk di Asia

 

Tantangan Demokrasi Asia

Demokrasi di negara-negara Asia terjadi terutama setelah lepas dari penjajahan usai Perang Dunia II (Harris, 2002).  Untuk melihat bagaimana relasi antara globalisasi dan demokratisasi di Asia terdapat beberapa kelompok dengan karakter masing-masing. Kelompok pertama negara negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan termasuk Hongkong dan Taiwan yang merangkul demokrasi pasca Perang Dunia II. Bahkan Jepang di masa Kekaisaran Hirohito terpaksa mengikuti petunjuk Amerika Serikat karena kalah pada Perang Dunia II. Keputusan Jepang menanggalkan rejim militer kemudian mengikuti apa yang disebut demokrasi seperti yang didesakkan Amerika Serikat menunjukkan bahwa Jepang memilih jalan tersebut tidak dalam kondisi bebas. Namun dalam perkembangannya justru Jepang dapat memanfaatkan globalisasi tanpa harus kehilangan jati dirinya.

Jepang, Korea Selatan dan Taiwan bisa dikatakan sebagai negara-negara di Asia yang mempraktekan demokrasi liberal (Saxer, 2013). Hal ini terlihat dari pemilihan anggota parlemen da pemilihan presiden atau perdana menteri yang berjalan secara berkala. Namun yang menonjol  adalah negara-negara ini memanfaatkan globalisasi untuk mengakses pasar internasional ke sesama negara Asia bahkan sampai ke Amerika, Eropa dan Afrika. Jika mengutip pendapat yang pro bahwa globalisasi mempengaruhi demokrasi, tiga negara ini malah memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan nasionalnya.

Kelompok kedua adalah negara yang berpenduduk besar seperti Tiongkok dan India. Di Tiongkok, globalisasi diberi tempat dengan hanya memanfaatkan aspek ekonominya dimana investasi langsung (foreign direct investment) dipacu untuk mempercepat pembangunan dalam negerinya, membuka lapangan kerja sekaligus belajar dari perusahaan transnasional asal Barat dan Jepang. Pola di Tiongkok ini menjadikan pertumbuhan ekonomi cepat selama sekitar enam persen selama tahun 1990-an dan awal 2000-an. Ini membuktikan globalisasi ekonomi telah mengubah peta kekuatan Tiongkok di mata dunia.

Namun Tiongkok tidak menyerahkan semuanya kepada kekuatan globalisasi seperti dijelaskan sejumlah pakar yang dapat memarginalkan kaum miskin dan menyebabkan jurang perbedaan kaya miskin. Tiongkok membuat model sendiri demokrasinya yang melekat kepada ajaran Marxisme. Partai Komunis Tiongkok dipertahankan sebagai otoritas yang berkuasa penuh di negeri yang berpenduduk lebih dari satu milyar ini. Dengan kekuasaan politik yang mutlak – yang artinya tidak diberlakukan demokrasi liberal – maka Tiongkok memiliki kekuatan mengendalikan ketidakpuasan, mengatur lalu lintas informasi dan juga kelompok-kelompok civil society (Friedman, 2002).

Berbeda dengan Tiongkok, India sudah juga memanfaatkan globalisasi ekonomi untuk membuat masyarakat berdaya. India benar-benar menjadi negara demokrasi dengan penduduk terbesar di dunia sehingga fungsi perwakilan dan sistem pemerintahannya berjalan berasaskan kepada prinsip-prinsip demokrasi liberal. Namun karena sistem demokrasi di India masih diwarnai oleh kekerasan maka laju perkembangan ekonominya tidak sekuat Tiongkok. Globalisasi memberikan ruang untuk berkembang di bidang ekonomi meski tidak secepat Tiongkok namun kualitas demokrasinya bisa disebut lebih baik dari Tiongkok.

Kelompok lainnya adalah negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia bisa dijadikan salah satu contoh bagaimana globalisasi telah memberikan tekanan kepada proses demokratisasinya. Sebagai negara yang masuk demokrasi pada penghujung demokratisasi di dunia, Indonesia tidak serta merta mempraktekan demokrasi penuh karena selama di bawah kekuasaan Presiden Soekarno masih dalam masa transisi dan pada tiga dasa warsa era Presiden Soeharto, demokrasi menjadi label saja tanpa dipraktekan secara menyeluruh. Globalisasi di Indonesia dimanfaatkan untuk keperluan sekelompok penguasa saja tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat. Pasca reformasi 1998 saat system demokrasi benar-benar tumbuh, Indonesia belum mendapatkan hasil secara ekonomi dari arus globalisasi dunia.

Beberapa negara Asia seperti Vietnam, Laos dan Myanmar tidak begitu merasakan dampak globalisasi terhadap kehidupan demokrasinya. Myanmar yang mendapat tekanan Barat untuk system demokrasinya akhirnya membuka pintunya ketika Aung San Suu Kyi dimasukkan dalam system pemerintahan. Sedangkan Thailand masih mengikuti sistem monarki konstitusional sehingga globalisasi tidak banyak berpengaruh kepada kehidupan demokrasinya. Malaysia menyambut globalisasi tanpa melepaskan diri dari demokrasi yang berbasiskan perkauman karena demografinya antara Melayu, Tionghoa dan India. Singapura bisa dikatakan menerima globalisasi dan bahkan memanfaatkan globalisasi terutama di industri jasa dan investasi namun untuk nilai-nilai demokrasi negara pulau ini menjauhkan diri dari demokrasi liberal sepertiyang dianut Filipina.

 

Penutup

Globalisasi khususnya di Asia telah memberikan peluang bagi berkembangnya demokrasi sehingga dapat mencapai kemakmuran yang diinginkan. Namun tidak semua aspek globalisasi menguntungkan perkembangan demokrasi. Tiongkok tidak menggunakan istrumen demokrasi untuk mencapai kemakmurannya namun memanfaatkan fenomena globalisasi khususnyai sektor ekonomi internasional untuk bersaing di panggung internasional.

Globalisasi sudah banyak menyentuh negara-negara di Asia dengan berbagai dampaknya apakah sifatnya ekonomi atau politik. Globalisasi dianggap telah membuka pintu negara-negara Asia ke dunia melalui perdagangan internasional. Namun tidak semua menerima globalisasi sebagai fenomena untuk mengubah negarnya menjadi demokrasi seperti di negara-negara Barat. ***

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Bhagwati,J. 1994. ‘Globalization, Sovereignty and Democracy’, in A. Hadenius, ed.,

Democracy’s Victory and Crisis: Nobel Symposium. Cambridge: Cambridge University Press, 1994), pp. 263–81;

 

Friedman, Edward. 2002. “On Alien Western Democracy”. Dalam Catarina, Kinnvall

and Kristina Jönsson. 2002. Globalization and Democratization in Asia. London: Routledge.

 

Harris, Stuart. 2002.  “Globalisation in the Asia-Pacific Context”. Diakses dari

http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/rp/rp0102/02RP07#how.

 

Held, David, Anthony McGrew, David Goldblat and Jonathan Perraton.1999. Global

Transformations: Politics, Economics and Culture. California: Stanford University Press.

 

Held, David. 1992. “Democracy: From City States to a Cosmopolitan Order?”

Political Studies, 40 (1992), 13–40.

 

Im, Hyug Baeg. 1996. “Globalization and Democratization: Boon Companions or

Strange Bedfellows?” Australian Journal of International Affairs, 50, 279–91.

 

John Oneal and Bruce Russett. “The Classical Liberals were Right:           Democracy,

Interdependence and Conflict, 1950–1985’, International Studies Quarterly, 41 (1997), 267–94;

 

Kinnvall, Catarina and Kristina Jönsson. 2002. Globalization and Democratization in

Asia. London: Routledge.

 

Li, Qian and Rafael Reuveny. 2003.”Economic Globalization and Democracy: An

Empirical Analysis”. British Journal of Political Science, 33, pp 29­54.

 

Lipset, S. M. 1994. ‘The Social Requisites of Democracy Revisited’. American

Sociological Review, 59 (1994), 2–13.

 

  1. L. Weitzman, ‘Capitalism and Democracy: A Summing Up of the Arguments’.
  2. In S. Bowles, H. Gintis and B. Gustafsson, eds, Markets and

Democracy: Participation, Accountability and Efficiency. Cambridge: Cambridge University Press. pp. 314–35;

 

Platner, Marc.1993. “The Democratic Moment”, in Larry Diamond and Marc

Platner, eds, The Global Resurgence of Democracy. Baltimore, Md: Johns Hopkins University Press. pp. 31–49;

 

Saxer, Carl J. 2013. “Democratization, Globalization and the Linkage of Domestic

and Foreign Policy of South Korea”. The Pacific Review, Vol 26. No 2, 177-198.

 

Schumpeter, Joseph A. 1950. Capitalism, Socialism and Democracy .New

York: Harper and Row.

 

Schmitter, P. C. 1996. “The Influence of the International Context upon the Choice of

National Institutions and Policies in Neo-Democracies”, in L. Whitehead,

ed., The International Dimensions of Democratization: Europe and the Americas. Oxford: Oxford University Press. pp. 26–54, at p. 27.