MODEL POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA BERBASIS KERAKYATAN DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN DIPLOMASI YANG BERMARTABAT

Oleh Asep Setiawan dan Endang Sulastri

FISIP UMJ

asep.setiawan@umj.ac.id, endangsulastri_es@yahoo.com

Abstract

The Indonesian government has applied a foreign policy based on national interest since independence. One element of the national interest promulgated in the constitution is to protect all citizens. During Jokowi’s government, the element of people’s interest as the basis of foreign policy is emphasized. Ministry of Foreign Affairs translates the priority of Jokowi’s government into policy. Diplomacy of Indonesia has become people-oriented because directly touches Indonesian citizens overseas. This research examines pro-people foreign policy and how could be implemented. The benefit and results of the policy are also analyzed. In the first step, the focus of the research is to define what is of people diplomacy concept and what it means for foreign policy. In addition, some case studies are applied to migrant workers in Malaysia. A qualitative approach is used for this research given the nature of the phenomenon. In addition, descriptive-analytic is also applied to understand the research object because the first step is to describe the object of research. The data collection method involves in-depth interviews, documentary studies, and Focus Group discussions. The research location is in Jakarta, Indonesia, and Malaysia. Research results show that the Foreign Ministry as a dominant institution in diplomacy practice sets up a particular strategy called People’s Diplomacy. After formulating certain strategies, The Foreign Ministry develop an existing structure that helps Indonesian overseas. The Ministry is also putting more budget to device new innovations and services in Jakarta and around the world. Indonesian overseas have to benefit from pro-people diplomacy; however, given the big and wide of cases overseas, Indonesian needs more consistency and focus on directly helping the people, particularly low-skilled migrant workers.

Keywords: foreign policy, diplomacy, people, migrant worker

  1. PENDAHULUAN

Dalam merumuskan kebijakan luar negerinya, pemerintahan Presiden Joko Widodo berpegang pada prinsip Trisakti. Prinsip ini memiliki tiga pilar, yakni kedaulatan dalam politik, berdikari ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan.  Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kemenlu Dr. Darmansjah Djumala menjelaskan, pilar kedaulatan politik berkaitan dengan kemandirian menghadapi intervensi pihak asing dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Pilar berdikari ekonomi dijadikan landasan bagi kebijakan luar negeri Jokowi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.  Dalam bidang budaya, Jokowi mengutamakan kepentingan budaya strategis, yakni promosi nilai budaya dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]

Darmansjah Djumala membuat komparasi antara kebijakan luar negeri Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perbandingan didasarkan pada empat indikator, yakni operasional, orientasi, pendekatan dan isu prioritas. Dari segi orientasi, SBY lebih mengedepankan internasionalisme. Kebijakan luar negeri SBY bersifat moderat dan lebih fokus menangani isu politik dan demokrasi. Sementara itu, Jokowi menjadikan kepentingan masyarakat sebagai orientasi utama. Djumala menambahkan, kebijakan Jokowi lebih memprioritaskan isu ekonomi kerakyatan dibandingkan isu politik.[2]

Orientasi kerakyatan Jokowi ini kemudian diterjemahkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Dalam pidato awal tahun 2015 Retno menjelaskan bahwa[3] 

“Diplomasi Indonesia akan terkoneksi dengan kepentingan rakyat. Diplomasi Indonesia akan membumi. Dan diplomasi Indonesia akan dilakukan secara tegas dan bermartabat.”

Menlu  Retno menyebutkan bahwa untuk masa pemerintahan 2014-2019 diplomasi Indonesia di luar negeri yang dilakukan oleh para diplomat Kemlu akan berhubungan dengan kepentingan rakyat.[4] Dengan kata lain, Jokowi menginginkan politik luar negeri pemerintahannya memberikan manfaat bagi rakyat, yang membumi, dan mengedepankan kerja diplomasi dengan memperhatikan kebutuhan rakyat.[5] Bahkan beberapa saat setelah pelantikannya Menlu RI mengatakan, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tidak boleh berjarak dengan kepentingan rakyat. Ini sesuai dengan visi dan misi yang telah disampaikan oleh presiden.[6]

Sejumlah kajian telah dilakukan untuk melihat apa yang dilakukan Jokowi dalam politik luar negerinya setidaknya dalam satu tahun pertama jabatannya. Aaron L. Connelly menyebutkan bahwa politik luar negeri Indonesia di bawah Jokowi akan memfokuskan kepada masalah dalam negeri.[7] Urusan luar negeri akan didelegasikan kepada kementerian yang menjadi tugasnya. Alasannya karena Jokowi tidak berpengalaman dalam masalah internasional.

Belum ada penelitian yang memfokuskan bagaimana orientasi rakyat ini dilaksanakan serta bagaimana hasilnya. Dengan latar belakang itu, penelitian akan memfokuskan kepada bagaimana pelaksanaan orientasi kerakyatan dalam politik luar negeri pemerintahan  Jokowi.

Masalah yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa yang disebut politik luar negeri berorientasi kerakyatan.
  2. Apa manfaatnya orientasi kerakyatan dalam politik luar negeri.
  3. Bagaimana implementasi dari orentasi kerakyatan politik luar negeri.
  4. Bagaimana hasil dari politik luar negeri berorientasi kerakyatan.
  5. Bagaimana posisi orientasi kerakyatan dalam politik luar negeri Indonesia.

Seperti diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, seluruh kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu penelitian bertujuan untuk:

  1. Melakukan pendataan kebijakan luar negeri yang langsung berdampak kepada rakyat.
  2. Melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan yang pro rakyat di luar negeri.
  3. Mengeksplorasi bagaimana politik luar negeri langsung memberikan manfaat kepada rakyat.
  4. Menginformasikan kepada kelompok yang berkepentingan untuk menjadikan kebijakan luar negeri dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

KAJIAN LITERATUR

Politik luar negeri disebut sebagai kelanjutan dari politik dalam negeri. Jika politik dalam negeri merupakan tindakan untuk mewujudkan kepentingan nasional sebuah negara maka politik luar negeri adalah upaya mewujudkan kepentingan nasional dengan arena berbeda yakni di mancanegara. Kepentingan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat misalnya tidak hanya dilakukan di dalam negeri tapi juga didapat dari hubungan antar bangsa. Dan mereka yang melakukan upaya itu di luar negeri, para warga bangsa, juga seharusnya mendapatkan perlindungan keamanan.

Dengan demikian fokus kepentingan nasional yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai dengan memacu pembangunan di dalam negeri namun juga membuka peluang di dunia internasional. Oleh karena itu implementasi politik luar negeri sangat terpengaruh oleh kepentingan nasional yang jadi prioritas sebuah pemerintahan.

Politik luar negeri kemudian menjadi respons dan stimulus yang menghubungkan kepentingan di dalam negeri dengan kesempatan di luar negeri. Dalam studi politik luar negeri sejumlah pakar memfokuskan kepada bagaimana negara merespon terhadap perkembangan internasional sebagai kelanjutan perubahan di dalam negeri. [8]Bagaimana politik luar negeri itu mengalami transformasi dari waktu ke waktu digambarkan dalam sebuah model berikut ini:

Gambar 1 Polugri Model Adaptif

Sumber: Yanyan (2017)

Berdasarkan model yang digambarkan Rosenau itu, politik luar negeri merupakan hasil dari perubahan di dalam negeri (structural change) dan perubahan di luar negeri (external change). Dua variable ini menentukan bagaimana politik luar negeri sebuah negara dijalankan. Variabel lain yang muncul yang mempengaruhi bentuk politik luar negeri adalah kepemimpinan sebuah pemerintahan.

Menurut Rosenau, terdapat empat kemungkinan muncul dari model adaptif ini. Keempat pola adaptasi politik luar negeri tersebut, yaitu: preservative adaptation (responsive to both external and internal demands and changes), acquiescent adaptation (responsive to external demands and changes), intransigent adaptation (responsive to internal demands and changes), promotive adaptation (unresponsive to both external and internal demands and changes).[9]

Dari empat kemungkinan yang terjadi dari adaptive model ini adalah respons terhadap tuntutan dan perubahan dalam negeri. Pemerintahan yang melakukan perubahan di dalam negeri karena pemilihan umum atau perubahan pemerintahan yang diakibatkan reformasi atau revolusi atau pergantian mendadak pemerintahan akan muncul tuntutan baru.

Politik luar negeri (foreign policy) juga merupakan seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara. K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:[10]

a.       Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan.

b.      Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek (short-term), jangka menengah (middle-term),dan jangka panjang (long-term).

c.       Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.

Namun demikian tujuan politik luar negeri tetap sama dengan kebijakan di dalam negeri yakni kepentingan nasional (national interersts) yang didefinisikan sebagai konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori/ keinginan dari suatu negara yang berdaulat. Kepentingan nasional ini diterjemahkan dalam sejumlah bidang seperti politik, ekonomi, keamanan dan sosial budaya.

            Mangadar Situmorang memandang bahwa kebijakan luar negeri Jokowi akan menekankan kepada kepentingan nasional di dalam negeri. Hal itu dilihat Situmorang dalam perspektif yang dikemukakan Jokowi [11]:

  1. Mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerjasama internasional;
  2. Meningkatkan peran global melalui diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dan kekuatan global secara selektif dengan memberikan prioritas kepada permasalahan yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara Indonesia;
  3. Memperluas mandala keterlibatan regional di IndoPasifik, dan;
  4. Merumuskan dan melaksanakan politik luar negeri yang melibatkan peran, aspirasi dan keterlibatan masyarakat.

Dengan adanya komitmen untuk melindungi warga negara dimanapun berada dan menjaga keamanananya, maka disebut pula bahwa politik luar negeri berorientasi kerakyatan. Artinya terdapat visi yang jelas bahwa kepentingan nasional dalam politik luar negeri babasiskan kepada kepentingan rakyat baik di bidang ekonomi, politik atau keamanan.

Tampak bahwa Kementerian Luar Negeri menekankan kepadan kepentingan rakyat dalam pelaksanaan politik luar negerinya. Bahkan kemudian Kementerian Luar Negeri mencanangkan apa yang disebut diplomasi rakyat.[12]

Gambar 2 Diplomasi Rakyat

Sumber: Kemlu (2014)

Dari gambar itu jelas bahwa orientasi rakyat politik luar negeri kemudian dilaksanakan melalui diplomasi rakyat. Disini tampak bahwa model yang berorientasi rakyat tidak hanya dirumuskan secara konseptual tetapi juga kemudian dijabarkan dalam kebijakan Kemlu RI.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena implementasi politik luar negeri memerlukan kajian yang mendalam. Menurut Creswell pendekatan ini for exploring and understanding the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem.[13] Dalam pendekatan ini proses penelitian melibatkan perumusan masalah dan prosedur-prosedur. Moleong menyebutkan penelidian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll.[14] Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang diambarkan sebagai penggambaran sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu.[15]

Pengumpulan data akan dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan teknik pengumpulan data kualitatif seperti wawancara mendalam, studi dokumentasi dan focus group discussion. Penelitian dilakukan terutama di Kementerian Luar Negeri karena berhubungan langsung dengan implementasi kebijakan luar negeri. Wawancara juga dilakukan dengan sejumlah Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Analisis yang dilakukan bersifat kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan mengenai model politik luar negeri kerakyatan ini akan diuraikan dalam tiga elemen yakni pertama, konseptual dari politik luar negeri Indonesia yang berbasis kerakyatan. Kedua akan membahas mengenai elemen struktural dan organisasional dalam implementasi politik luar negeri berorientasi kerakyatan. Ketiga implementasi diplomasi kerakyatan yang merupakan perwujudan dari politik luar negeri yang berbasis kerakyatan.

  1. POLITIK LUAR NEGERI KERAKYATAN

Politik Luar Negeri Indonesia sejak merdeka tahun 1945 mendasarkan diri pada amanat dalam Pembukaan UUD 1945. Amanat itu adalah bagian dari kewajiban negara yang harus dilaksanakan dengan perangkat kerjanya yakni para menteri dan kementerian.  Amanat itu berbunyi “…..pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….”.

Pada era Presiden Soekarno politik luar negeri lebih fokus kepada mempertahankan kemerdekaan sedangkan Presiden Soeharto fokus kepada pembangunan ekonomi dengan mencari mitra di luar negeri. Dilanjutkan kemudian dengan era reformasi yang karena system lebih demokratis maka diplomasi kerakyatan juga semakin meluas karena adanya tuntutan dari pemegang kedaulatan yakni rakyat itu sendiri.

Diplomasi untuk rakyat yang menjadi bagian dari program lima tahun pemerintah Indonesia pada era Presiden Joko Widodo yang merupakan manifestasi dari kepentingan nasional yang menjadi prioritas. Kepentingan nasional yang diprioritaskan pemerintah pusat menegaskan bahwa negara hadir di tengah-tengah rakyat dimanapun berada. Kehadiran negara inilah yang menjadikan kebijakan luar negeri fokus kepada kepentingan rakyat menjadi hal utama, tidak hanya dalam diplomasi bilateral dan multilateral antar negara. Biasanya politik luar negeri difokuskan kepada pertemuan pemerintah dengan pemerintah dalam kegiatan diplomasi berupa konferensi atau negosiasi bilateral dan multilateral. Rakyat yang dalam hal ini warga negara yang berada di luar negeri tidak menjadi prioritas dalam perundingan karena menyangkut kepentingan pemerintahan secara langsung misalnya dalam perbatasan negara atau kontrak bisnis.

Kebijakan Luar Negeri Indonesia saat ini mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ketiga tahun 2015-2019 yang berbasiskan kepada Visi Misi, Program Aksi Presiden/Wakil Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla. Visi Misi Pembangunan pada tahun 2015-2019 adalah Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong.

            Diantara tujuh misi pembangunan itu adalah mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. Di sinilah Kementerian Luar Negeri secara spesifik berperan dalam mewujudkan misi pembangunan. Selengkapnya misi pembangunan pemerintahan Jokowi-JK adalah (Kemlu: 2015):

1.  Mewujudkan  keamanan  nasional  yang  mampu  menjaga  kedaulatan  wilayah,  menopang kemandirian  ekonomi  dengan  mengamankan  sumber  daya  maritim  dan  mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.

2.  Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara hukum.

3.  Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

4.  Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera.

5.  Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

6.  Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.

7.  Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.

Kebijakan Luar Negeri ini juga menekankan kepada prioritas apa yang disebut dalam poin pertama: menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Dalam konteks ini Kementerian Luar Negeri merujuk kepada apa yang disebut menghadirkan negara dalam kebijakan luar negeri.

Diantara prioritas yang secara nyata dapat dirasakan warga negara Indonesia adalah keterlibatan pemerintah ketika para warga sedang berada di luar negeri atau sedang bekerja di luar negeri. Dalam focus Group Discussion dijelaskan bagaimana hubungan antara konsep ideal berdasarkan UUD 1945 dengan kebijakan di tingkat operasional.

Gambar 3 Konsep Melindungi WNI

  • STRUKTUR PENDUKUNG KEBIJAKAN

WNI yang terpantau pemerintah berada di luar negeri diperkirakan mencapai 2.862.495 (Kemlu: 2016). WNI berada di luar negeri bekerja sebagai penata tata laksana rumah tangga (PLRT/pembantu rumah tangga) mahasiswa sampai bidang profesional lainnya. Angka hampir tiga juta tersebut yang disebut sebagai data resmi. Menurut data tidak resmi jumlah WNI di luar negeri bisa mencapai tiga kali lipatnya yang berarti hampir sembilan juta orang.

            Untuk mewujudkan diplomasi untuk rakyat yang merupakan program nyata dari politik luar negeri berorientasi rakyat maka Kementerian Luar Negeri menjabarkan dalam poin antar lain “pelayanan dan perlindungan WNI dan BHI dan diaspora yang prima” . Butir ini merupakan satu dari delapan sasaran strategis yang dicanangkan oleh Kementerian Luar negeri. Di sini tampak bahwa dalam kebijakan sudah muncul apa yang disebut perlayanan untuk WNI di luar negeri.

            Belajar dari penanganan kasus sebelumnya, seperti dijelaskan dalam Focus Group Discussion Kementerian Luar Negeri juga menata paradigma dalam penataan masalah WNI. Dari semula yang reaktif dan responsif kepada langkah yang pro aktif seperti tampak dalam gambar berikut.

Gambar 4 Paradigma Perlindungan WNI

            Berdasarkan gambar tersebut penanganan kasus tidak hanya kepada seberapa besar kasus yang ditangani tetapi juga penataan instrumen pendukungnya mulai hulu. Ini berarti ketika penanganan kasus maka Kementeriaan Luar Negeri juga memberikan kontribusi dalam penyelesaian kasus pengiriman WNI ke luar negeri dari dalam negeri.

            Untuk mencapai ini kementerian luar negeri mengadakan penataan secara organisasi dimana Badan Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) diperluas dan anggarannya diperbesar. Secara struktural, Badan perlindungan WNI dan BHI ini berada di bawah Direktorat Jenderal Protokoler dan Konsuler. Untuk menopang kebijakan luar negeri berorientasi kepada kerakyatan ini Menlu Retno Marsudi menekankan perlunya kehadiran negara di tengah rakyatnya. Menlu Retno (Kemenlu: 2016) menggarisbawahi 5 (lima) isu utama yang harus diperhatikan oleh seluruh unsur di Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI, yaitu:

1. Perlindungan dan Pelayanan dengan kewajiban memberikan perlindungan kepada seluruh WNI dan BHI di luar negeri yang cepat, responsif, dan mengedepankan kualitas pelayanan kepada publik;

2. Respons yang cepat dan real time terhadap dinamika di dunia, alert, monitor kondisi yang dapat mempengaruhi RI dan sampaikan rekomendasi kebijakan yang tepat;

3. Intensifkan komunikasi kepada publik dan kembangkan networking;

4. Efisiensi, pergunakan anggaran secara bijak dan fokus pada pelaksanaan program prioritas; dan

5. Tingkatkan merit system.

            Dengan adanya kepentingan nasional yang berbasiskan kepentingan bersentuhan dengan rakyat maka struktur juga diperkuat seperti terlihat dalam penataan struktur di kementerian luar negeri. Dalam struktur kementerian isu-isu terkait dengan perlindungan rakyat di luar negeri diberi tempat di bawah Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler. Susunan Organisasi Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, terdiri atas:

a. Sekretariat Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler;

b. Direktorat Protokol;

c. Direktorat Konsuler;

d. Direktorat Fasilitas Diplomatik; dan

e. Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia.

Di bawah Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia secara teknis tugasnya adalah (Kemlu: 2017)

a. penyiapan perumusan perlindungan kebijakan warga negara di Indonesia bidang dan badan hukum Indonesia di luar negeri termasuk pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan kemanusiaan dan sosial, pemberian fasilitasi pemulangan, pengawasan kekonsuleran, kampanye penyadaran publik, harmonisasi kebijakan dan pengembangan kerja bilateral, regional,sama regulasi, dan danmultilateral;

b. pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia di luar negeri termasuk pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan kemanusiaan dan sosial, pemberian fasilitasi pemulangan, pengawasan kekonsuleran, kampanye penyadaran publik, harmonisasi kebijakan dan regulasi, dan pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral;

c. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia di luar negeri termasuk pemberian bantuan kemanusiaan pemulangan, dan hukum, pemberian sosial, pengawasan bantuan pemberian kekonsuleran, fasilitasi kampanye penyadaran publik, harmonisasi kebijakan dan regulasi, dan pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral;

d. penyiapan pelaksanaan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perlindungan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia di luar negeri termasuk pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan kemanusiaan dan sosial, pemberian fasilitasi pemulangan, pengawasan kekonsuleran, kampanye penyadaran publik, harmonisasi kebijakan dan regulasi, dan pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral;

e. penyiapan pelaksanaan pelaporan di bidang pemantauan, perlindungan evaluasi warga dan negara Indonesia dan badan hukum Indonesia di luar negeri termasuk pemberian bantuan hukum, pemberian bantuan kemanusiaan dan sosial, pemberian fasilitasi pemulangan, pengawasan kekonsuleran, kampanye penyadaran publik, harmonisasi kebijakan dan regulasi, dan pengembangan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral; dan

f. pelaksanaan tata usaha Direktorat.

Dengan tugas yang cukup luas ini maka Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, terdiri atas:

a. Subdirektorat Kawasan I;

b. Subdirektorat Kawasan II;

c. Subdirektorat Kawasan III;

d. Subdirektorat Kawasan IV;

e. Subdirektorat Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan;

f. Subbagian Tata Usaha; dan

g. Kelompok Jabatan Fungsional.

Dengan adanya organisasi seperti maka menunjukkan bahwa penanganan masalah terkait WNI di luar negeri dilakukan secara khusus dan dengan sumber daya yang cukup besar termasuk mesin birokrasi yang menjalankannya. Seperti dijelaskan dalam kebijakan yang disebutkan Menlu Retno Marsudi maka perlindungan masyarakat menjadi penting karena sejak awal pemerintahan menekankan apa yang disebut dengan kehadiran negara dalam masalah yang dihadapi warga.

Politik luar negeri berorientasi rakyat muncul dari prioritas kepentingan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Dari kepentingan nasional yang dinyatakan dalam program pemerintahan inilah kemudian diwujudkan oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam bentuk penataan organisasi untuk mengakomodasi prioritas nasional pemerintahan. Penataan kelembagaan ini kemudian disusul dengan anggaran yang juga mengakomodasi pergeseran kepentingan dari hanya sekedar diplomasi yang sifatnya elitis dengan perhatian kepada WNI di luar negeri terutama mereka yang bermasalah.

Mengenai besaran anggaran yang menunjukkan bahwa orientasi kerakyatan dalam politik luar negeri dalam rangka melindungi masyarakat di mancangara tampak dari contoh yang ada di anggaran 2017 (Kemlu: 2017)

Gambar 5 Anggaran Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler

Dapat dilihat dari sekitar Rp 125 milyar anggaran Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler 2017 tampak bahwa hampir separuh anggaran yakni Rp 60 milyar diperuntukkan bagi perlindungan dan pelayanan WNI dan Badan Hukum Indonesia di luar negeri. Besaran anggaran ini dapat ditafsirkan adanya prioritas dari pemerintah untuk memberikan perlindungan lebih baik WNI dan BHI di luar negeri sekaligus merupakan akuntabilitas dari kebijakan diplomasi rakyat. Besarnya anggaran ini memberikan makna perhatian lebih bagi perlindungan WNI di luar negeri relative terakomodasi untuk hampir tiga juta WNI dengan sebagian besar profesinya sebagai TKI.

Tidak hanya struktur dan anggaran, program untuk perlindungan WNI juga diperluas dengan mengenalkan aplikasi, situs monitoring dan bahkan publikasi SMS untuk mengenalkan lokasi perwakilan Indonesia tatkala anggota masyarakat siapapun apakah wisatawan atau para tenaga kerja di luar negeri setibanya di negara tujuan. Pesan SMS dari nomor milik anggota masyarakat yang masih meggunakan provider Indonesia secara otomatis menghidupkan pesan yang isinya mengenai lokasi dan alamat kantor perwakilan Indonesia. Metode seperti ini disebutkan sebagai sebuah langkah baru untuk memberikan informasi secara transparan kepada publik mengenai kehadiran negara di lokasi tujuan.

Dalam pengamatan langsung mengenai fungsi SMS ini seperti tampak di Singapura dan Malaysia, WNI yang baru datang langsung mendapatkan pesan khusus dari provider Indonesia. Pesan SMS ini adalah bagian dari langkah pemerintah Indonesia dalam memberikan informasi kepada WNI di luar negeri agar mencatat alamat tersebut sebagai tindakan berjaga-jaga apabila dibutuhkan. Informasi awal ini diharapkan oleh pemerintah dapat memberikan kesadaran akan kehadiran aparat apabila diperlukan dalam tindakan darurat. Informasi yang tertera dalam pesan singkat ini cukup jelas menerangkan mengenai alamat secara lengkap kantor perwakilan terdekat dimana para warga berada.

Kehadiran pemerintah secara digital sudah terwakili dari situs internet dan berbagai informasi di dalamnya di sejumlah besar kantor perwakilan mulai dari Benua Afrika, Eropa sampai Amerika dan Australia. Dengan akses internet yang sudah mendunia para warga yang sudah lama berdiam di luar negeri atau para pekerja yang baru datang dapat memanfaatkan situs tersebut dengan berbagai informasi di dalamnya.

Sebagai tambahan dari kebijakan perlindungan rakyat ini, Kementerian Luar Negeri membuat informasi terpusat terkait dengan isu dan masalah tenaga kerja di luar negeri. Alamat situs tersebut dapat diakses di http://perlindungan.kemlu.go.id/portal/home.

Gambar 4 Situs Internet Perlindungan WNI

Dalam wawancara dengan pejabat di Direktorat Perlindungan WNI dan BHI terungkap bahwa situs tersebut tidak hanya untuk menginformasikan perkembangan terbaru mengenai sejumlah masalah WNI di luar negeri. Di dalam situs ini juga WNI di luar negeri dapat mencari informasi terkait dengan Panduan Untuk Melakukan Registrasi, Panduan Untuk Melakukan Lapor Diri, Panduan Untuk Melakukan Pengaduan Kasus, Panduan Untuk Melakukan Pengajuan Pelayanan Publik dan Panduan Untuk Melakukan Pengaduan Pelayanan Publik. Ragam informasi itu disebut sebagai sebuah tindakan pro aktif dari pemerintah untuk melindungi WNI di luar negeri. Namun demikian tidak semua WNI mampu memanfaatkan situs tersebut karena antara lain kemampuan individual yang berbeda-beda serta situasi bekerja WNI.

Salah satu fitur yang baru dalam laman atau halaman internet itu adalah fitur pendaftaran bagi keluarga atau kerabat yang ingin memantau langsung kasus yang menyangkut sanak keluarganya di luar negeri. Di halaman Layanan terdapat registrasi, lapora diri dan pengaduan kasus yang bisa daftar langsung oleh WNI sehingga dapat menjadi sarana yang cepat agar kasusnya bisa ditangani langsung.

Gambar 5 Pendaftaran Keluarga WNI

Dengan metode mendaftarkan diri melalui situs tersebut bagi keluarga dan kerabat yang bermasalah maka komunikasi bisa berlangsung hampir tanpa jeda. Mereka yang tinggal di Indonesia dapat memantau dengan identitas yang sudah dikirimkan demikian juga mereka yang bermasalah juga bisa mengetahui perkembangannya dari petugas yang membantunya. Sistem registrasi ini merupakan salah satu alat untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dalam pelaksanaan diplomasi rakyat, melindungi WNI dan BHI di luar negeri.

  • IMPLEMENTASI POLITIK LUAR NEGERI KERAKYATAN

Implementasi diplomasi kerakyatan ini sebenarnya mengacu kepada fungsi diplomasi yakni representing (mewakili) protecting (melindungi), negotiating (berunding), promoting (mempromosikan) dan reporting (melaporkan). (Bunyan, 2017). Dari lima fungsi ini yang erat kaitannya dengan rakyat adalah fungsi protecting bagi warga negara yang berada di luar negeri atau yang akan ke luar negeri.

Pemerintah saat ini menempatkan tiga prioritas dalam politik luar negerinya yakni perlindungan warga negara Indonesia, diplomasi ekonomi dan diplomasi mempertahankan wilayah Indonesia.

Diplomasi ekonomi erat kaitannya dengan fungsi promosi dari diplomasi. Sedangkan mempertahankan wilayah erat kaitannya dengan diplomasi protecting juga.Diplomasi rakyat yang merupakan wujud dari pelaksanaan politik luar negeri berorientasi rakyat ini dilakukan pemerintah dengan berbagai program.

Dari sekian program ini implementasi yang pernah dan sedang dilaksanakan menyangkut beberapa segmen mulai dari kasus-kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah sampai dengan repatriasi WNI yang bermasalah di luar negeri. Penelitian ini mengamai sejumlah kasus yang menjadikan masalah-masalah di luar negeri menjadi fokus (Kemlu: 2016)

  1. Kasus Tenaga Kerja Indonesia

Dari data terbaru yang dikeluarkan Kemlu, dalam rentang satu tahun antara 2015-2016 yang merupakan masa tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK, tercatat 15.756 kasus WNI di luar negeri. Sekitar 86 persen diantara jumlah itu terkait dengan masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.  Kemlu menyebutkan bahwa 55 persen dari kasus TKI itu terkait TKI Domestik seperti profesi Pembantu Rumah Tangga, sopir, tukang kebun. Dari angkat ini tampak bahwa apa yang ditangani oleh Kemlu menyangkut profesi yang diklasifikasikan sebagai blue collar atau para pekerja teknis. Komposisi ini bisa menjelaskan beberapa hal mengena kasus TKI ini.

Pertama, kasus TKI yang ditangani pemerintah setidaknya dalam rentang waktu satu tahun 2015-2016 bertumpukan kepada profesi yang digolongkan kepada non skilled labour. Posisi mereka biasanya rawan di negara tempat dimana mereka bekerja. Selain itu pendapatan juga tidak terlalu besar di negara tersebut namun mereka harus bekerja keras secar fisik.

Kedua, tingginya kasus TKI ini menunjukkan rawannya posisi mereka di tengah profesi lainnya yang terlindungi hukum setempat. Karena posisinya yang rawan maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran hukum dari pengguna keahlian mereka.

Ketiga, persoalan TKI illegal juga akan tinggi angkanya karena akses masuk ke profesi seperti pembantu rumah tangga atau sopir tidak memerlukan sertifikat pendidikan tinggi. Akibatnya banyak TKI illegal mencari peruntungan dan juga menemui banyak masalah.

Dari sejumlah wawancara mengenai permasalahan TKI di Malaysia tampak bahwa isu-isu tidak adanya posisi yang menguntungkan bagi para pekerja migran di sana. Sebagian pekerja itu tidak dibayar gajinya selama bertahun-tahun dengan alasan majikannya mengatakan bahwa para TKI ini tidak bisa mengelola keuangan.

Sofia, salah seorang TKI di Malaysia mengatakan, sudah bekerja tiga tahun dan tinggal di shelter Johor selama 6,5 bulan. Alasannya tinggal di Konjen RI Johor adalah masalah gaji yang tidak dibayar selama tiga tahun. KJRI sudah berusaha dan mendapatkan 8000 ringgit namun masih ada sisa yang belum dibayarkan 17.000 ringgit. Demikian juga kasus Sriyani yang mengaku sudah 10 tahun bekerja dan tinggal di tempat penampungan KJRI Johor selama 6,5 bulan. Kasusnya sama menyangkut gaji yang tidak dibayar dan adanya kekerasan ketika bekerja.[16]

  • Repatriasi

Dalam mewujudkan perlindungan WNI di luar negeri, Kemlu juga melakukan program pemulangan bagi warga yang ijin tinggalnya habis. Catatan Kemlu pada tahun 2016 menyebutkan bahwa pemulangan atau repatriasi WNI yang habis visanya dan yang tidak memiliki dokumentasi sudah dicanangkan sejak 17 Desember 2014 oleh Presiden Joko Widodo. Program ini termasuk cukup besar karena secara bertahap akan memulangkan sekitar 1,8 juta WNI yang ijin tinggal habis atau tidak memiliki dokumen. Setiap tahun direncanakan 50.000 orang dipulangkan terutama dari wilayah Malaysia, Arab Saudi dan Timur Tengah.

            Upaya pemulangan hampir dua juta WNI yang bermasalah ini mendorong Kemlu membentuk apa yang disebut dengan Satuan Tugas Percepatan Pemulangan WNI bermasalah sejak April 2016. Satgas inilah yang memfokuskan diri kepada pemulangan WNI bermasalah dari berbagai lokasi yang disebut Kemlu sebagai Citizen Service.

  • Tindak Pidana Perdagangan Orang

Kehadiran negara dalam masalah WNI di luar negeri diimpelentasikan dalam bentuk penanganan terkait WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang atau trafficking in person. Tahun 2016 Kemlu mencatat terdapat 208 kasus yang dapat ditangani. Namun demikian sebanyak 66 kasus lainnya masih dalam proses penanganan.

Dalam penanganan korban tindak pidana perdagangan manusia ini, Kemlu mencatat adanya tiga modus pengiriman WNI yang terindikasi adanya kasus pidana. Pertama, WNI sebagai pekerja formal perusahaan tertentu namun akhirnya menjadi pembantu rumah tangga. Para pekerja ini dijanjikan posisi sebagai petugas cleaning service, perawat orang sakit atau baby sitter. Namun kemudian mereka diperlakukan sebagai pembantu rumah tangga.

Modus kedua, memberangkatkan WNI ke negara tujuan dengan mekanisme apa yang disebut sebagai calling visa kunjungan ke negara tujuan atau juga visa umroh lalu diujungna menjadi pembantu rumah tangga. Cara ini dilakukan dengan tujuan ke wilayah TImur Tengah khususnya Arab Saudi.

Modus ketiga, pengiriman WNI antar negara karena adanya penghentian atau moratorium pengiriman TKI khususnya ke Timur Tengah. Kalau di Indonesia moratorium pengiriman TKI namun di Timur Tengah terdapat permintaan tinggi terhadap TKI maka sebagian WNI mengeluarkan dana besar untuk pergi ke Timur Tengah. Warga ini datang tidak langsung ke Arab Saudi namun ke Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab dan Qatar terlebih dahulu. Hal ini muncul karena moratorium TKI kepada kawasan Timur Tengah berbeda-beda. Indonesia memberlaukan moratorium ke Kuwait tahun 2009, ke Arab Saudi tahun 2011, terhadap Uni Emirat Arab tahun 2013 sedangkan ke Oman dan Bahrain tahun 2015.

  • Penyanderaan

Masalah WNI di luar negeri tidak hanya terkait soal kerja tetapi juga dihadapkan pada posisi berbahaya seperti penyanderaan. Sepanjang tahun 2016 telah terjadi lima insiden penyanderaan yang melibatkan 25 orang yang berprofesi sebagai anak buah kapal di Filipina Selatan. Sampai Oktober 2016 pemerintah Indonesia telah membebaskan 23 dari 25 sandera dengan selamat.

Selain penyanderaan di Filipina, pemerintah Indonesia juga dapat membebaskan penyanderaan anak buah kapal Naham 3 oleh perompak di Somalia yang berlangsung sejak 2012. Tiga orang dapat dibebaskan pada 24 Oktober 2016.

Penyanderaan menjadi tantangan baru dalam perlindungan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kasus penyanderaan juga menunjukkan semakin rumitnya perlindungan warga karena berbagai profesi yang dijalani mereka seperti anak buah kapal. Kemlu menangani kasus ini tidak sendirian karena juga melibatkan kementerian lain dan juga apparat kepolisian.

  • Haji dan Umroh

Ibadah haji dan umroh juga dari pemerintah Indonesia karena ternyata berbagai masalah timbul dari kegiatan ini. Bulan Agustus 2016 terjadi penahanan dan pencekalan ratusan warga Indonesia di Filipina.Sebanyak 177 orang WNI calon haji dicekal karena didapati menggunakan paspor palsu Filipina. Mereka akan berangkat dari bandara Internasional Ninoy Aquino menuju Madinah, Arab Saudi. Indonesia kemudian melakukan diplomasi kepada Filipina untuk membebaskan mereka. Kembali perhatian kepada warga di luar negeri menjadikan pemerintah Indonesia sigap meskipun kesalahan itu dilakukan oleh sejumlah orang sehingga 177 orang itu memiliki paspos Filipina padahal mereka adalah WNI.

Masalah ini tidak selesai karena ternyata 106 diantaranya yang menggunakan paspor Filipina telah lolos ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Kembali pemerintah Indonesia membantu mereka untuk dipulangkan secara bertahap yang merupakan bagian dari program perlindungan WNI.

Dalam kasus lain juga di Arab Saudi, pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah kecelakaan Crane di Masjidil Haram Mekkah pada 11 September 2015.  Sebanyak 12 orang meninggal dan 49 luka-luka. Kemlu juga kemudian berusaha untuk mendampingi korban kecelakaan itu. Arab Saudi menjanjikan kompensasi masing-masing bagi korban meninggal dunia sebesar satu juta riyal dan yang cedera 500.000 riyal.

Kemlu juga menangani korban lainnya yakni akibat Tragedi Mina Oktober 2016 dimana anggota Jemaah haji Indonesia meningeal sebanyak 120 orang. Mereka adalah korban dari 2.431 yang meninggal akibat berdesak-desakan di Mina. Perhatian kepada korban terutama dalam identifikasi korban dan pemulangan jenazah.

  • Terorisme

Perhatian pemerintah Indonesia terhadap korban tindak terrorism dan juga mereka yang diduga terlibat tidak surut dalam beberapa tahun ini. Perlindungan dilakukan terhadap korban tindak terrorisme dan keluarganya juga bagaimana menangani mereka yang terlibat tindak terorisme misalnya bergabung dengan Negara Islam Irak Suriah yang disebut juga ISIS. Sampai September 2016 tercatat sedikitnya 2012 orang WNI yang ditangkap pemerintah Turki karena dugaan akan menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Pemerintah Indonesia memperkirakan terhadap 483 WNI yang bergabung dengan ISIS.

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan data lapangan baik dari wawancara informan di Indonesia seperti pejabat Kementerian Luar Negeri serta wawancara tenaga kerja Indonesia di Malaysia  dan studi dokumentasi, tahap pertama penelitian menyimpulkan:

  1. Kepentingan nasional dimana pemerintah mengambil posisi negara hadir di tengah rakyat telah mendorong perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berbasiskan rakyat. Konsep menghadirkan negara dalam perlindungan rakyat ini dimanifestasikan dalam program di kementerian pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tujuan perlindungan rakyat ini sesuai dengan cita-cita nasional dalam menjaga kesejahteraan rakyat di dalam maupun di luar negeri.
  2. Dari prioritas nasional tersebut kemudian Kementerian Luar Negeri menyusun program menjadi sasaran strategis yakni melindungi WNI dan Badan Hukum Indonesia. Sasaran strategis ini satu dari sekian sasaran yang menjadi perhatian pemerintahan Jokowi-JK. Penempatan perlindungan WNI sebagai sasaran strategis menjadikan perhatian langsung dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Dalam berbagai pernyataan mengenai kebijakan luar negeri disebutkan berkali-kali bahwa diplomasi rakyat merupakan wujud kehadiran negara dalam perlindungan warga.
  3. Program ini kemudian didukung oleh struktur yang memadai di bawah Direktorat Jenderal Protkoler dan Konsuler. Di dalam direktorat ini kemudian muncul apa yang disebut Direktur Perlindungan yang kemudian secara struktur organisasi mendapat perhatian besar dengan adanya pengerahan sumber daya manusia lebih besar.
  4. Karena menjadi perhatian pemerintah Indonesia, maka kebijakan luar negeri berbasiskan rakyat ini kemudian mengalokasikan anggaran yang lebih besar dari sebelumnya. Besarnya anggaran ini dikehendaki karena program perlindungan WNI merupakan prioritas pemerintah.
  5. Manfaat yang dirasakan oleh orientasi kerakyatan ini tampak dari beberapa catatan dan laporan mengenai keterlibatan pemerintah dalam melindungi WNI di berbagai kawasan termasuk di Malaysia yang jumlahnya mencapai dua juta WNI yang bekerja disana. Namun demikian bantuan kepada WNI sebagai perwujudan perlindungan WNI di luar negeri juga perlu ditingkatkan karena masalah lebih banyak dari ketersediaan pelayanan dari kantor perwakilan. Salah satu buktinya masih adanya para penghungi rumah aman atau shelter di kantor-kantor perwakilan yang menyelesaikan masalah yang dihadapai WNI.
  6. Tantangan yang besar untuk implementasi politik luar negeri berbasiskan rakyat ini adalah di satu sisi memerlukan penguatan SDM di Kemlu. Di sisi lain perlunya kesadaran dari warga negara bahwa tindakan yang illegal di luar negeri seperti visa yang kadaluarsa atau illegal akan menghadapi konsekuensi hukum dimana negara tidak sepenuhnya menjamin bebas dari tuntutan hukum. Tantangan lainnya adalah sebagian juga korban tindak kekerasan dan terrorism yang mengharuskan diplomasi menyeluruh untuk perdamaian dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John W.2014. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed

Methods Approaches. Los Angeles: Sage.

Djumala, Darmansyah. 2014. Membumikan Politik Luar Negeri. Diakses dari

http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/132343-%5B_Konten_%5D-Membumikan-Kps0001.pdf.

Holsti, K.J., 1983. International Politics: A Framework for Analysis. London:

Prentice Hall.

Kementerian Luar Negeri RI.2014. Rencana Strategis 2015-2019. Jakarta: Kemlu RI

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Rosenau, James N. 1981.The Study of Political Adaptation: Essays on the Analysis of

World Politics. New York: Nichols Publishing.

Sevilla, Consuelo G. etc. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia

Situmorang. Mangadar. 2015. “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Indonesia Dibawah Pemerintahan Jokowi-JK”.  Dalam Jurnal Hubungan Internasional. Vol 11, No 1.

Susanto, Bambang. Politik Luar Negeri Bagi Kepentingan Rakyat. Diakses Juli 2017

Dari http://hi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2016/10/Presentasi-Membumikan-PLN-Bagi-Kepentingan-Rakyat.ppt.

Visi Misi Jokowi JK.2014. Jakarta: KPU.

Yani, Yanyan Mochamad. Perspektif-Perspektif Politik Luar Negeri: Teori dan

Praksis. Dalam http://pustaka.unpad.ac.id/archives/50063#. Diakses Januari 2017.


[1] Membaca Orientasi Kebijakan Luar Negeri Jokowi, http://www.balairungpress.com/2015/04/membaca-orientasi-kebijakan-luar-negeri-jokowi/ diakses 12 Mei 2016 pukul 1200.

[2] Ibid.

[3] Kemlu RI.2015. Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Republk Indonesia. Jakarta: Kemlu RI.

[4] Menlu Sampaikan Tiga Prioritas Politik Luar Negeri.

http://www.antarasumbar.com/berita/130625/menlu-sampaikan-tiga-prioritas-politik-luar-negeri.html

[5] Ibid

[6] Menlu Baru RI Terapkan Diplomasi Pro-Rakyat.

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141029153858-127-8734/menlu-baru-ri-terapkan-diplomasi-pro-rakyat/

[7] Aaron L. Connelly.2014.Indonesian foreign policy under President Jokowi. The Lowy Institute for International Policy. Hal 1.

[8] Yanyan Mochamad Yani. Perspektif-Perspektif Politik Luar Negeri: Teori dan Praksis. Dalam http://pustaka.unpad.ac.id/archives/50063#. Diakses Januari 2017.

[9] James N. Rosenau. 1981.The Study of Political Adaptation: Essays on the Analysis of World Politics. New York, Nichols Publishing, hal. 59.

[10] Holsti, K.J., 1983. International Politics: A Framework for Analysis.London: Prentice Hall.

[11] Mangadar Situmorang. 2015. “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Indonesia Dibawah Pemerintahan Jokowi-JK”.  Dalam Jurnal Hubungan Internasional. Vol 11, No 1.

[12] Kementerian Luar Negeri RI.2014.Rencana Strategis 2015-2019. Jakarta: Kemlu RI. Hal. 26

[13] John W.  Creswell.2014. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Los Angeles:Sage. Hal.4.

[14] Lexy J Moleong. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosdakarya. Hal. 6

[15] Consuelo G. Sevilla etc. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 71

[16] Wawancara dengan beberapa TKI di Johor, Malaysia bulan Mei.

Pandemi Covid-19 Ancaman Keamanan Asia

Tag

, ,

Tahun 2020 ketika pandemi sudah melanda lebih dari 200 negara maka covid19 atau wabah virus corona telah menjadi ancaman nyata di Asia. Ancaman itu mulai dari sistem kesehatan sebuah negara sampai dengan ekonomi,sosial budaya sampai kepada politik. Dengan adanya wabah ini maka sendi-sendi kehidupan nasional suatu negara termasuk di Asia mendapatkan guncangan.

Menurut WHO, kasus virus Corona ini mulai diketahui dari laporan resmi China tanggal 31 Desember 2019 yang menyebutkan bahwa satu kluster kasus radang paru-paru (pneumonia) di Wuhan Provinsi Haubei telah ditemukan. Sejak saat itulah ditentukan adanya virus corona. Dan 4 Januari 2020, WHO mengumumkan di media sosial adanya kluster kasua penumonia di Wuhan tanpa diterima laporan jatuhnya korban oleh WHO.

Baru kemudian 5 Januari 2020 WHO mengumumkan adanya wabah virus baru yang namanya belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan mengumumkan panduan ke berbagai negara bagaimana mendeteksi, menguji dan menghadapi kasus ini berdasarkan pengetahuan tentang virus saat itu. WHO menyatakan berdasarkan pengalamana SARS dan MERS dan penularan virus melalui alat pernafasan, infeksinya serta cara pengendaliannya maka diterbitkan panduan cara perlindungan para petugas kesehatan agar hati-hati terhadap droplet dan kontak dengan pasien.

Barulah seperti dijelaskan WHO, China berbagi genetik mengenai apa yang disebut COVID-19 12 Januari 2020. Sehari kemudian muncul kasus pertama di luar China yakni di Thailand. Kemudian 22 Januari 2020 ditemukan bahwa penularan Covid-19 ini terjadi antara manusia ke mansia di Wuhan, China.

Baru kemudian setelah menyebar ke berbagai negara, WHO mengumumkan 11 Maret 2020 covid-19 ini sebagai pandemi, wabah yang menyebar di seluruh dunia. Indonesia mengumumkan kasus pertama covid-19 ini tanggal 12 Maret 2020 dan setelah itu sampai April sekitar 500 orang meninggal dan sekitar 5000 terkena covid-19.

Penyebaran wabah covid-19 ini sangat cepat seperti tampak dalam data yang dirilis oleh WHO sampai 19 April 2020, sekitar sebulan sejak dinyatakan pandemic global.

Gambar : Peta Penyebaran Covid-19

Sumber: WHO (2020)

 

Dari gambar di atas tampak bahwa penyebaran covid-19 sudah mendunia, tidak ada satupun negara yang luput dari penyebaran wabah ini. Gambar berikut merupakan gambaran pandemi global berdasarkan kawasan.

Gambar: Penyebaran Covid-19 Per Kawasan

Sumber: WHO

 

Berdasarkan data dari WHO berikut ini penyebaran covid-19 di sebagian negara di Asia berdasrakan rekaman tanggal 12 April 2020. Jumlah korban yang terbesar di Asia terjadi di China disusul kemudian Indonesia dan India. Dari tabel itu menunjukkan bahwa ancaman covid-19 ini tidak dapat dianggap kecil dibandingkan dengan ancaman keamanan lain seperti dari perdagangan narkoba, perdagangan manusia bahkan ancaman karena konflik perbatasan.

China yang merupakan asal dari wabah ini korban dan kasusnya paling besar terutama di Wuhan. Lebih dari 83 ribu orang orang terkena covid-19 dan lebih dari empat ribu meninggal berdasarkan data 12 April 2020. Namun kalau menyimak data terbaru tanggal 19 April,  berikut ini dari John Hopkins University maka total kasus mencapai 2,3 juta orang dengan orang yang meninggal di seluruh dunia lebih dari 160 ribu orang.

Tabel : Penyebaran Covid-19 di Asia

Sumber:WHO

 

Gambar: Penyebaran Covid-19

Sumber: John Hopkins University[1]

 

Globalisasi di bidang transportasi menjadi salah penyebab cepatnya wabah virus corona di Asia dan dunia. Penyebaran covid-19 ini tidak hanya terjadi di Asia tetapi bahkan paling parah terjadi di Eropa seperti di Italia, Spanyol dan Inggris. Warga usia lanjut yang rentan terhadap kesehatan menjadi korban dari wabah covid-19. Demikian juga ancaman covid-19 paling besar terjadi di Amerika Serikat karena berbagai sebab antara lain juga warga usia lanjut yang rentan terhadap penyakit sehingga begitu serangan covid-19 ini sampai sulit sekali penyembuhannya.

Kalau di tingkat Asia faktor transportasi seperti penerbangan dan juga hubungan laut menjadi pemicu cepatnya wabah ini seperti terjadi di Korea Selatan dan Jepang. Berbagai kegiatan masyarakat di Asia mulai yang sifatnya keagamaan dan ritual lainnya sudah bersifat regional dan global. Berbagai warga mancanegara dapat berkumpul di suatu tempat dalam suatu acara besar seperti di Korea Selatan tanpa pengetahuan bahaya wabah ini.

[1] https://coronavirus.jhu.edu/map.html

Sub bab bagian dari Buku Hubungan Internasional di Asia Timur akan terbit

Pandemi sebagai Isu Keamanan Global

Pandemi global covid-2019 telah menjadi perhatian dunia karena mengancam tidak hanya keamanan setiap negara tetapi dalam tahap mengancam eksistensi manusia. Pandemi selama ini dipandang sebagai sebuah isu kesehatan baik di tingkat nasional, regional maupun global. Dengan pandemi yang sudah melanda lebih dari 200 negara dan lebih dari 100 ribu orang meninggal di seluruh dunia maka perlu kajian yang melihat pandemi covid19 ini sebagai sebuah isu keamanan global

Ancaman keamanan yang dipetakan Hough misalnya menempatkan isu senjata nuklir sebagai sebuah ancaman global (to be continued)

PERAN MEDIA MASSA DALAM POLITIK LUAR NEGERI: KASUS DI INDONESIA

Tag

, ,

Asep Setiawan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

asep.setiawan@umj.ac.id

Abstrak

Saat sebuah negara melakukan perluasan dalam mengikuti nilai-nilai demokrasi dalam sistem politiknya, media massa semakin berperan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah termasuk dalam urusan kebijakan luar negeri. Studi mengenai relasi media massa dan formulasi kebijakan luar negeri telah berkembang ke tahap konseptual dan bahkan kerangka teoritis. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pendekatan teoritis dan analitis terhadap media dan kebijakan luar negeri memiliki setidaknya tujuh kerangka. Ketujuh alat analisis ini adalah CNN Effect, the Indexing Hypothesis, Media – Policy Interaction Model, Positioning Theory Agenda – Setting Theory, Propaganda Model dan Manufacturing Consent. Di Indonesia studi mengenai hubungan media dan politik luar negeri belum begitu berkembang. Namun terdapat kasus yang menjadi perhatian yakni perubahan kebijakan luar negeri Indonesia terkait isu nuklir Iran di Dewan Keamanan PBB.

 

Kata kunci: Media Massa, Politik Luar Negeri, CNN Effect, Manufacturing Consent, Indonesia, Iran Nuklir, Dewan Keamanan PBB.

Abstract

As a country embraces democratic values in its political system, mass media has an increasing role in influencing government policy making including foreign policy making. Study on mass media relations with foreign policy making has developed to level conceptual even theoretical framework in mass communication study. This article shows that theoretical and analytical approaches toward media and foreign policy decision making have at least seven analytical frameworks. Those tools of analysis are CNN Effect, the Indexing Hypothesis, Media – Policy Interaction Model, Positioning Theory Agenda – Setting Theory, Propaganda Model dan Manufacturing Consent. In Indonesia, study on relations between media and foreign policy has not been developed. But there is prominent case in foreign policy change of Indonesia regarding Iranian nuclear issue in United Nations Security Council.

 

Keywords: Mass Media, Foreign Policy, CNN Effect, Manufacturing Consent, Indonesia, Iran Nuclear, United Nations Security Council.

 

Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan demokrasi di sebuah negara, peran media massa juga ikut membesar karena adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Institusi media massa menjadi bagian tak terpisahkan dari kematangan demokrasi di sebuah negara. Ini tidak lain karena media massa besuara secara kritis terhadap isu-isu yang muncul di dalam masyarakat termasuk terhadap kebijakan pemerintah. Media massa juga menjadi penyalur opini publik yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Untuk tingkat tertentu fenomena ini terlihat di Indonesia sejak reformasi politik 1998 dimana media massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Media cetak dan media elektronik tumbuh subur dimana-mana setelah pintu demokrasi mulai dibuka. Secara alamiah, pemerintah juga memperhatikan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat yang terekam dan disalurkan oleh media massa. Situasi ini berbeda ketika masa Orde Baru dimana media dibatasi keberadaan dan pengaruhnya.

Tidak terkecuali juga dialami para pengambil kebijakan luar negeri di pemerintahan yang tidak secara langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Isu internasional disebut sebagai sebuah isu elit hanya menyentuh kalangan tertentu dalam pemerintahan dan masyarakat namun ketika menyentuh identitas politik dan budaya maka publik tergerak untuk melakukan reaksi. Reaksi public inilah yang kemudian dalam berbagai kajian menunjukkan relasi antara media dan politik luar negeri sebuah negara.

Artikel ini akan mengkaji bagaimana pandangan teoritis terhadap hubungan media massa dan politik luar negeri secara umum berkembang terutama di negara-negara yang tingkat demokrasinya sudah maju. Kemudian pada bagian berikutnya akan disinggung bagaimana di Indonesia dalam salah satu kajian menunjukkan peran media dalam pengambilan kebijakan luar negeri.

Relasi Media dan Politik Luar Negeri

Dalam sejumlah kajian media disebut sebagai faktor penentu dalam negeri untuk  implementasi politik luar negeri di negara-negara demokratis (Hulme, 1996, Baastø, 2013). Kehadiran media ini semakin signifikan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (Panagiotou, 2000). Faktor media sebagai determinan dalam negeri hampir sebanding dengan determinan lainnya seperti ekonomi, politik dan pertahanan.

Graber  seperti dikutip Nita Andrianti (2015) menyebutkan sekurang-kurangnya  terdapat  empat  fungsi  media  massa  bagi  negara  atau  kekuasaan  internasional  yaitu: pertama,  media massa  menyediakan  informasi  terbaru  tentang berbagai peristiwa politik yang tengah berkembang  di  masyarakat  dan  dijadikan salah satu bahan pertimbangan bagi negara dalam  membuat  kebijakan-kebijakannya. Kedua, media massa memberikan ruang ke sadaran sosial  bagi  negara  untuk  membaca lebih jauh opini publik yang berkembang di masyarakat. Ketiga, media massa juga memfasilitasi negara untuk dapat menyampaikan pesan-pesan  kepada  kekuasaan  politik  dan masyarakat umum, baik di dalam maupun di luar  pemerintahan. Keempat,  media  massa memberikan  kesempatan  para  penyelenggara  negara  untuk  memelihara  kontinuitas kekuasaannya di tengah peranannya.

Media juga dapat disebut sebagai komponen penting dimana “para pengambil kebijakan luar negeri memperhatikan perkembangan kebijakan mereka” (Naveh 2002:2). Dalam pelaksanaan politik luar negeri, tekanan politik dari media kadang-kadang lebih besar dari tekanan domestik lainnya (Graber 1989:336).

Studi yang dilakukan Niki Christopolou menyebutkan setidaknya terdapat enam kerangka analisis bagaimana media ikut memberikan dampak terhadap politik luar negeri. Kerangka analisis pertama disebut dengan CNN Effect.  Perspektif ini menyebutkan bahwa terdapat dampak luas di dunia dari berita televisi terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah khususnya saat krisis dan perang.

Sebagai reaksi dari perspektif pertama muncul apa yang disebut The Indexing Hypothesis. Inti dari kerangka analisis ini adalah campur tangan pemerintah dalam sebuah kasus merupakan hasil dari proses diplomatik dan birokrasi bersamaan dengan berita yang muncul merespons keputusan tersebut. Model lainnya mengenai hubungan media dan politik luar negeri disebut dengan Media – Policy Interaction Model. Dalam kerangka ini disebut bahwa kebijakan yang memicu tindakan atas nama perintah muncul dari media atau pemerintahan.

Selanjutnya terdapat model Positioning Theory dimana model-model terdahulu menggunakan istilah “tekanan” untuk mengenali bagaimana media mempengaruhi proses pengambilan keputusan digantikan dengan proses yang logis berupa interaksi media dan pemerintah. Sedangkan  Agenda – Setting Theory memfokuskan pada peran media yang menentukan agenda pemberitaan sesuai dengan keinginan media (Jentleso 2010:59) Media yang menginterpretasikan peristiwa dan pemerintah yang merespon terhadap penentuan agenda oleh media.

Model lainnya yakni Propaganda yang menjelaskan hubungan antara media dan pengambilan keputusan pemerintah. Kerangka pandangan ini melihat media sebagai sebagai system yang mengkomunikasikan pesan dan simbol untuk publik yang lebih luas.

Kajian  yang dilakukan Chanan Naveh (2002) The Role of the Media in Foreign Policy Decision-Making: A Theoretical Framework menyatakan, proses pengambilan keputusan untuk kebijakan luar negeri diambil dalam lingkungan media. Kinerja media dalam lingkungan tersebut ditentukan oleh saluran komunikasi politik rejim, kebijakan komunikasi pemerintah, struktur ekonomi politik dan saluran khusus komunikasi. Atmosfir yang diciptakan media inilah mencerminkan peristiwa internasional melalui perspektif agenda setting, pengaruh terhadap pengambil kebijakan dan mendorong mereka merespon melalui media.

Naveh mengembangkan model untuk mengetahui bagaimana media massa mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dalam model berikut Naveh menjelaskan bagaimanapun media merupakan lingkungan dimana kebijakan itu diambil.

Gambar 1

Sumber: Chanan Naveh (2002)

Menurut model Naveh yang menempatkan media sebagai faktor lingkungan di sebuah negara terdapat enam variabel yakni rejim komunikasi politik menjadi bahan pertimbangan, kebijakan komunikasi yang diambil oleh pemerintah, ekonomi politik dari setting media massa, berbagai saluran komunikasi dan teknologi yang ada di negara itu, fungsi khusus yang dilakukan oleh saluran media massa dan news values dimana media sebagai “gatekeeper” memilih berita tertentu untuk peristiwa tertentu.

Selain media sebagai lingkungan, Naveh juga memandang media sebagai lingkungan pembentuk kebijakan luar negeri (Media as a Foreign-Policy Environment Creator).  Mengutip McCombs, Naveh menjelaskan bahwa “While the mass media may have little influence on the direction or intensity of attitudes, it is hypothesized that the mass media set the agenda for each political campaign, influencing the salience of attitudes toward the political issues”.

Mengenai agenda setting ini Naveh meminjam pendekatan dari McQuail bahwa agenda setting berbasiskan pada empat hipotesis yakni perdebatan publik diwakili oleh isu-isu utama, agenda itu muncul dari kombinasi opini publik dan pilihan politik, media pemberitaan dan informasi mencerminkan dalam content dan isu berdasarkan prioritas dan keterwakilan dalam isu-isu itu di media massa memberikan dampak independen terhadap content isu itu dan opini publik.

Aspek satu lagi dimana media sebagai pembentuk kebijakan luar negeri adalah framing yakni fungsi media melakukan konstruksi realitas. Naveh menjelaskan, media mentransformasikan peristiwa melalui format yang berisi ideologi dan perspektif nilai dimana media fokus kepada berita utama, simbol dan stereotipe yang terkait.

Pandangan Siri Sveinsdotter Baastø (2013) dalam kajiannya, The Media and Foreign Policy: A Study of the Media’s Role in The Intervention in Libya menyatakan adanya indikasi media mempengaruhi  kebijakan intervensi Amerika Serikat di Libya. Pengaruh itu juga dirasakan oleh Denmark, Inggris dan Norwedia. Pengaruh media terutama karena pengaruh media untuk mendapatkan sumber tidak resmi dalam peliputan situasi di Libya.

Sementara studi yang dilakukan oleh Henrik Thune (2009) dalam Beyond the CNN effect: Towards a Constitutive Understanding of Media Power in International Politics menjelaskan hubungan media dan politik laur negeri merupakan hubungan yang saling menguntungkan.  Kekuatan dan pengaruh media berita dapat dipelajari di pengaruh yang membangun sesuatu. Ini berarti memahami media berita sebagai struktur komunikasi yang seragam dimana perilaku politisi secara konstan berubah menurut waktu.

Niki Christopoulou (2009) dalam The Impact of Media on the Formulation of Foreign Policy in Turkey and Greece 2004 – 2011 menjelaskan media mampu mempengaruhi dalam kebijakan dalam politik luar negeri Turki dan Yunani. Pengaruh media itu muncul dari kekuatan media atas opini publik yang muncul atas isu-isu terkait politik luar negeri. Penguasaan media dalam mengangkat opini public inilah yang jadi faktor media berpengaruh terhadap politik luar negeri.

Dalam menjelaskan determinan domestik dalam pengambilan keputusan politik luar negeri sebuah negara, Alex Mintz (2001) menyebutkan salah satunya adalah opini publik. Di negara demokratis opini publik disampaikan oleh media massa dan kadang-kadang surveinya juga dibuat media. Determinan lain seperti dikemukakan Mintz adalah konisi ekonomi, kepentingan ekonomi, siklus pemilu dan permainan dua level.

Menurut Mintz ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan dapatkah media pemberitaan mempengaruhi keputusan politik luar negeri. Kedua teori itu adalah apa yang disebut CNN Effect dan the Manufacturing Consent. Yang pertama menyebutkan media merupakan faktor yang menggalang dukungan pada perang Vietnam. Sedangkan teori Manufacturing Consent Theory berpendapat bahwa elit mengendalikan media dan pemerintah menggunakan media untuk menciptakan dukungan bagi kebijakan tertentu.

Dari berbagai paparan mengenai kerangka teori dan analisis tentang hubungan antara media dengan kebijakan luar negeri terdapat banyak pilihan pisau analisis. Di beberapa kalangan penggunaan teori ini sudah meluas namun tampaknya bagi aplikasi di Indonesia masih belum begitu meluas. Salah satu alasan diduga karena perlunya pendekatan dari beberapa keilmuan baik itu komunikasi maupun hubungan internasional.

Media dan Polugri Indonesia

Sejak reformasi 1998, media memiliki peran lebih luas sebagai sumber informasi dan berita bagi publik dan para pengambil kebijakan. Kebebasan pers yang lahir setelah reformasi membawa perubahan interaksi antara media, publik dan pemerintah. Kajian antara media massa di Indonesia dengan pemerintah dan bagaimana dampaknya sudah menjadi perhatian sejumlah pakar. Media massa yang menampung opini publik menjadi lebih kuat dampaknya terhadap perumusan kebjakan pemerintah.

Demikian juga kebijakan luar negeri Indonesia pasca reformasi mempertimbangkan peran dan pengaruh dari media massa. Media baik elektronik maupun cetak setiap hari mengangkat berita-berita penting baik dalam maupun luar negeri. Berita dan laporan ini menjadi input bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan sikap dan langkah berkaitan dengan isu tertentu. Dari dalam negeri bisa muncul tekanan publik untuk sebuah kebijakan termasuk yang terkait dengan hubungan luar negeri. Media di luar negeri juga menjadi lingkungan bagi para pengambil kebijakan bidang kebijakan luar negeri.

Menteri Luar Negeri  Hassan Wirajuda (2002) sebagai eksekutif pelaksana kebijakan luar negeri mengakui adanya peran media massa dalam implementasi politik luar negeri sebuah negara. Wirajuda menyebut bahwa CNN Effect merupakan model dimana media mendorong pemerintah yang ragu-ragu agar bertindak di saat krisis. CNN Effect adalah kajian yang menunjukkan bahwa media massa khususnya televisi mampu mempengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan Diplomasi sangat dekat hubungannya dengan informasi dan komunikasi. Ia bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, sehingga berdasar informasi yang akurat itu, proses pembuatan keputusan dapat dibuat menjadi lebih arif, akurat dan tepat waktu.

Dalam studi mengenai kasus perubahan sikap Indonesia di Dewan Keamanan PBB terhadap isu nukli Iran pada tahun 2007 dan 2008 tampak peran media dalam memberikan kontribusi terhadap perubahan kebijakan luar negeri Indonesia. Semula Indonesia tahun 2007 bersikap mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB yang memperkuat sanksi terhadap Iran karena dianggap berbahaya bagi dunia internasional karena akan menguasai senjata nuklir. Namun tahun 2008, Indonesia bersikap abstain yang artinya tidak memberikan suara mendukung dan menentang ketika resolusi berikutnya  berupa sanksi kepada Iran dijatuhkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Pada tahun 2007, publik memberikan sorotan kepada sikap Indonesia di Dewan      Keamanan PBB terkait isu nuklir Iran. Pada tahun 2007, Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB No 1747 yang menjatuhkan sanksi internasional kepada Iran termasuk embargo senjata karena aktivitas pengayaan uranium. Resolusi No. 1747 tanggal 24 Maret 2007 mengenai Isu nuklir Iran di DK PBB merupakan kelanjutan resolusi sebelumnya seperti 1737 tanggal 23 Desember 2006 yang didalamnya menjatuhkan sanksi terbatas kepada Iran. Resolusi 1747 kembali meminta Iran menghentikan program pengayaam uranium di sejumlah reaktor nuklirnya. Karena selama 60 hari Iran dianggap tidak mematuhi Resolusi No. 1737 maka kemudian diperkuat dengan Resolusi No. 1747. Bahkan dalam resolusi baru ini  ditambahkan tiga elemen baru mengenai embargo senjata, larangan pemberian komitmen baru tentang hibah, bantuan keuangan dan pinjaman, serta penambahan larangan bepergian ke luar negeri bagi individu/entitas dari para pejabat Iran ke dalam Annex dari resolusi tersebut.

Dukungan Indonesia terhadap Resolusi No. 1747 ini mendapatkan reaksi civil society seperti ormas Islam, partai politik, tokoh intelektual dan media. Publik menganggap kebijakan Indonesia mendukung Resolusi DK PBB itu dianggap karena tekanan Barat dan menunjukkan sikap tidak mendukung solidaritas kepada dunia Islam. Bahkan DPR ikut memberikan reaksi keras karena dianggap terhadap tidak konsisten terhadap politik luar negeri bebas aktif sehingga mengajukan hak interpelasi.

Sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tahun 2008 Indonesia kemudian abstain dalam pengambilan putusan terhadap Resolusi 1803 yang menjatuhkan sanksi tambahan terhadap Iran seperti larangan perjalanan luar negeri dan larangan di bidang komersial serta finansial. Pergeseran sikap Indonesia terjadi setelah aksi massa dan aksi partai politik yang menunjukkan protes terhadap sikap di DK PBB tahun 2007 yang mendukung sanksi kepada Iran karena dipandang mendukung Barat (Vermonte, 2014). Pergeseran sikap Indonesia dalam masalah pengembangan nuklir Iran yang dibahas di Dewan Keamanan PBB dianggap tidak lepas dari peran media massa di dalam negeri yang menyuaran tidak setuju terhadap keputusan pemerintah.

Studi tentang perubahan sikap Indonesia tersebut telah banyak dilakukan. Sebagian kajian tersebut menekankan pada perubahan itu disebabkan oleh faktor DPR (Anwar, 2010). Studi lainnya menekankan pada adanya pergeseran sikap disebabkan tekanan dari ormas-ormas Islam (Al-Anshari, 2016)). Sedangkan studi lainnya memandang bahwa perubahan sikap Indonesia di dalam isu nuklir Iran di DK PBB disebabkan tekanan internasional.

Mohamad Zakaria Al-Anshari (2016: 99-130) dalam kajian mengenai politik luar negeri Indonesia mengulas kebijakan dalam menghadapi program nuklir Iran. Indonesia melakukan pergeseran sikap mengenai isu nuklir Iran yang semula mendukung sanksi menjadi abstain merupakan respons dari kritik dan protes publik. Kalangan Islam mempertanyakan solidaritas dengan negara-negara Muslim karena justru seperti memihak Barat dalam menjatuhkan sanksi kepada Iran. Pergeseran tersebut menunjukkan bahwa tekanan publik ditambah dengan DPR memberikan dampak terhadap sikap abstain Indonesia saat DK PBB kembali menjatuhkan sanksi baru kepada Iran tahun 2008.

Kajian mengenai pengambilan kebijakan luar negeri dalam isu nuklir Iran di Dewan Keamanan PBB secara khusus dibahas Iis Gindarsah (2012). Dalam studinya yang memfokuskan kepada pengaruh domestik dalam penyusunan kebijakan luar negeri, Gindarsah mirip dengan Al-Anshari (2016) yang menjelaskan pergeseran sikap Indonesia dalam isu nuklir Iran disebabkan oleh tekanan domestik. Ormas keagamaan dan partai politik disebut sebagai faktor kunci pergeseran kebijakan Indonesia di Dewan Keamanan PBB terkait nuklir Iran. Keduanya tidak menyebut media sebagai aktor non-negara yang ikut mempengaruhi sikap Indonesia namun disebutkan bahwa faktor domestik menjadi alasan pergeseran sikap Indonesia di DK PBB.

Sedangkan penelitian Bambang Susanto (2012) mengenai akuntabilitas politik luar negeri Indonesia terkait dengan isu nuklir Iran. Menurut Bambang, akuntabilitas kebijakan politik luar negeri serta pelibatan partisipasi publik melalui mekanisme DPR masih belum maksimal. Partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan dalam menentukan arah kebijakan politik luar negeri. Penyebabnya, Kementerian Luar Negeri saat memberikan dukungan kepada Resolusi Dewan Keamaan PBB Nomor 1747 tidak melakukan komunikasi dengan DPR. Akibatnya, kebijakan kementerian luar negeri mendapatkan kritik dari DPR sehingga terjadilah proses pengajuan hak interpelasi. Hampir sama dengan Al-Anshari dan Iis, DPR menjadi sumber input bagi pergeseran sikap Indonesia di forum PBB.

Ketiga penelitian itu menunjukkan bahwa dalam pergeseran sikap Indonesia terkait isu nuklir Iran, lembaga parlemen menjadi aktor yang dominan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Lembaga DPR ini dengan sikap oposisi terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melakukan tekanan agar Indonesia mengubah sikapnya di Dewan Keamanan PBB yang dianggap condong ke Barat dan mengabaikan solidaritas Islam.

Sementara pandangan yang dilakukan Djoko Sulistyo dan Irfa Puspitasari (2008) juga menyoroti sikap DPR dalam merespon kebijakan Indonesia di Dewan Keamanan PBB terkait kasus nuklir Iran. Penelitian ini menyimpulkan bahwa interpelasi DPR dilakukan partai-partai yang berseberangan dengan pemerintah. Meskipun presiden tidak hadir dalam sidang interpelasi, anggota Dewan cukup puas menerima penjelasan pemerintah sehingga tidak perlu diproses dalam pemakzulan presiden.

Fokus kepada aspek di DPR sebagai suatu reaksi saat Indonesia mendukung sanksi baru bagi Iran di Dewan Keamanan juga menjadi perhatian Ann Marie Murphy (2008). DPR mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan sikapnya yang mendukung sanksi baru kepada Iran karena isu nuklirnya tahun 2007. Alasan DPR saat itu Presiden George Walker Bush menelepon Presiden Yudhoyono menjelang pemungutan suara di DK PBB yang dianggap sebagai tekanan kepada Indonesia dan sekaligus mengkhianati solidaritas dengan Iran sebagai negara Islam.

Dewi Fortuna Anwar (2010) juga memiliki pandangan bahwa DPR menjadi salah satu pusat yang memberikan pengaruh kepada pengambilan keputusan terkait nuklir Iran. Sikap DPR ini juga sama dengan persepsi publik yang menganggap bahwa resolusi No 1747 itu dimotori oleh Amerika Serikat . Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah negara Muslim Iran sehingga resolusi itu dianggap tidak adil. Pada saat bersamaan, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush tidak populer di Indonesia karena melakukan invasi dan pendudukan terhadap Irak. Selain itu perang melawan terorisme yang digalang oleh Amerika Serikat dipersepsikan umat Islam sebagai perang melawan dunia Islam.

Hosianna Rugun Anggreni Rajagukguk (2009) membahas secara khusus mengenai pergeseran kebijakan Indonesia atas isu nuklir Iran juga dengan melakukan penekanan juga kepada peran DPR. Ketika tahun 2007 Indonesia mendukung Resolusi DK PBB No 1747, DPR memprotesnya dengan mengajukan interpelasi. DPR meminta penjelasan kepada pemerintah terhadap sikap yang diambilnya karena dianggap tidak sesuai dengan politik luar negeri bebas aktif. Akibat interpelasi itulah kemudian pada tahun berikutnya Indonesia mengambil sikap abstain dalam Resolusi 1803. Hosianna menyebut faktor DPR yang turut serta mempengaruhi keputusan pemerintah Indonesia di DK PBB. Selanjutnya, Masitoh Nur Rohma (2014) menggunakan pendekatan group decision-making dalam mengkaji abstainnya Indonesia terhadap resolusi nuklir Iran tahun 2008.  Kajian ini menyebutkan bahwa politik domestik, konstelasi politik legislatif dan tekanan kelompok keagamaan merupakan faktor yang ikut mempengaruhi sikap Indonesia. Namun pengambilan keputusan tetap dilakukan oleh lingkaran utama pengambil keputusan yakni presiden.

Kajian lainnya dilakukan Inggried Christhiansend Purnomo Putri (2011) yang menunjukkan bahwa pergeseran sikap Indonesia dalam kasus nuklir Iran dikarena oleh dua aspek. Pertama, kondisi domestik di Indonesia pasca pemerintahan menyetujui Resolusi 1747 citra pemerintah memburuk di mata umat Islam di Indonesia. Faktor lainnya, adanya interpelasi DPR yang meminta pertangungjawaban pemerintah membuat posisi pemerintah semakin terpojok. Dalam kajian ini Putri menyinggung kekuatan civil society yang mendorong perubahan di dalam negeri namun tidak memuat media sebagai elemen yang penting dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.

Sementara dalam penelitian yang dilakukan Dana Permana (2009) menjelaskan bahwa pergeseran keputusan Indonesia dari setuju pada tahun 2007 dan kemudian abstain tahun 2008 disebabkan dua faktor  yakni domestik dan internasional. Faktor domestik karena adanya penolakan dan tekanan dari umat Islam yang menunjukkan adanya faktor Islam dalam isu nuklir ini. Faktor internasional merujuk kepada perlunya menjaga hubungan bilateral dengan Iran. Adanya sikap abstain di Dewan Keamanan PBB tahun 2008 menunjukkan bahwa Indonesia tidak menginginkan namanya tercoreng di kalangan negara-negara Islam dan negara berkembang lainnya.

Kajian mengenai hubungan Indonesia-dan Iran menjadi perhatian Khodijatul Qodriyah (2009) yang juga menyinggung mengenai masalah nuklir Iran. Hubungan diplomatik kedua negara menjadi sorotan karena adanya perbedaan sikap mengenai nuklir antara Iran dan Amerika Serikat. Jika Iran menyatakan nuklir menjadi sumber energi alternatif sehingga nuklir dikembangkan untuk keperluan damai. Sebaliknya Amerika Serikat menentang nuklir Iran karena dianggap berbahaya sehingga masalah ini dibawa ke Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini Indonesia seperti condong kepada Amerika Serikat meskipun dengan alasan sendiri. Alasan yang dikemukakan Indonesia dalam isu nuklir Iran di DK PBB ini mendukung Iran namun negara itu telah mengabaikan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan DK PBB yang sudah mengeluarkan Resolusi 1696 dan 1737.

Sikap Indonesia pada Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747 menjadi sorotan dari Ekky Nugraha (2014). Menurut Ekky, terdapat dua faktor yang menjadi acuan pemerintah Indonesia untuk mendukung resolusi tersebut. Faktor yang pertama adalah setting internal dimana Indonesia terlibat dalam perumusan isi Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747 yakni pada pasal 12 tang menyatakan Iran harus menghenikan sementara program pengayaan uraniumnya selama 60 hari selama dilakukan penyelidikan oleh IAEA. Selain itu Indonesia juga mendukung kawasan Timur Tengah bebas nuklir yang pandangan ini bisa juga dikritisi oleh negara lain karena Israel yang diduga memiliki senjata nuklir tidak dipermasalahkan. Faktor setting eksternal yakni banyaknya pelanggaran yang dilakukan Iran selama program pengayaan uranium yaitu dengan menambah jumlah inti atom yang dimiliki dari lima pemecah inti atom menjadi 1300 pemecah inti atom. Iran juga dituduh melakukan transaksi di pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan program nuklirnya.

Kajian juga dilakukan terhadap narasi media mengenai sikap Indonesia di Dewan Keamanan PBB soal nuklir Iran. Flori Bertha Ratna Kusmawati (2008) mengangkat soal kontroversi sanksi DK PBB ke Iran dalam pemberitaan pers Indonesia. Kontroversi yang diangkat mengenai sikap Indonesia yang semula menolak resolusi karena percaya bahwa kegiatan pengayaan uranium Iran bertujuan damai akhirnya mendukung resolusi. Keputusan Indonesia itu menimbulkan reaksi dari publik seperti organisasi kemahasiswaan Islam serta DPR. Dalam kajian content analysis harian Kompas dan Republika ingin menunjukkan bahwa media dapat menyampaikan fakta obyektif meskipun dukungan Indonesia dianggap sebagai pengkhianatan kepada Iran sebagai sesama negara Muslim dan pelanggaran politik luar negeri bebas aktif. Pendekatan terhadap analisa isi media ini menjadi menarik karena menunjukkan bahwa kontroversi dukungan Indonesia terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1737 menjadi bagian dari perdebatan di media.

Studi mengenai perubahan kebijakan luar negeri yang memberikan penekanan dimana DPR, umat Islam di dalam negeri, dan juga tekanan internasional tidak memperhatikan bahwa itu nuklir Iran telah menjadi ranah publik dan juga perhatian media massa. Peran media seperti dijelaskan oleh Naveh sebagai pembentuk opini dalam formulasi kebijakan luar negeri direkam oleh Harian Kompas yang melakukan survei bulan April 2007 seperti disinggung dalam kajian Mohamad Zakaria Al-Anshori (2016). Disebutkan bahwa setengah dari responden atau 50,4 % tidak setuju dengan keputusan pemerintah.

Survei itu juga mengungkapkan bahwa tingkat kekecewaan responden Muslim lebih tinggi dari non Muslim. Banyak responden dalam survei itu yakni 73,32 % meyakini bahwa tekanan internasional lah yang menjadi faktor penentu dalam keputusan pemerintah mengenai isu itu. Survei ini tidak hanya memberikan tekanan kepada aspek utama opini publik terkait kebijakan Indonesia menghadapi nuklir Iran tetapi juga menjadi agenda media mengangkat sikap oposisi publik dan juga DPR setelah itu.

Analisis Framing yang dilakukan Dede Nugraha (2010) menunjukkan bagaimana media memberikan dampak terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu nuklir. Pendekatan yang dilakukan mengenai framing inilah yang menguatkan adanya faktor yang dalam konteks Naveh sebagai lingkungan dan sekaligus pembentuk kebijakan luar negeri. Dede Nugraha mengambil sampel pemberitaan di koran Media Indonesia dan Republika untuk menunjukkan bahwa kedua orang memiliki pandangan yang tidak sama mengenai isu nuklir Iran. Analisis itulah yang kemudian mencerminkan bahwa di dalam masyarakat Indonesia terdapat pandangan bahwa Iran sebagai negara Muslim berhak mengembangkan nuklir sebagai energi meski kemudian dituduh Barat untuk menguasai senjata nuklir. Namun demikian Media Indonesia memandang lebih luas lagi dalam konteks penggunaan nuklir yang menggambarkan adanya persaingan di dunia internasional.

Dari sejumlah riset tentang bagaimana media ikut memberikan dampak kepada perubahan kebijakan luar negeri Indonesia dalam kasus nuklir Iran, tidak hanya faktor lembaga legislative, kelompok masyarakat dan negara besar, tampaknya masih diperlukan riset tambahan seperti dalam kasus kebijakan Indonesia membantu tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di Timur Tengah. Media massa terutama dalam era sekarang televisi memberikan dampak langsung kepada kebijakan public seperti yang dirasakan Amerika Serikat yang disebut sebagai CNN Efect. Dengan adanya riset mengenai dampak media massa terhadap kebijakan luar negeri akan memberikan tambahan perspektif bahwa meskipun kebijakan ini besifat elit dan ekslusif karena menyangkut isu di dunia internasional yang jauh dari kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia, namun di era globalisasi informasi ini tidak ada yang lepas dari perhatian public. Media menjadi penentu dalam mengangkat isu utama di ranah public sehingga bisa memberikan dampak kepada para pengambil kebijakan luar negeri.

 

            Kesimpulan

Kerangka kajian mengenai relasi media massa dan pengambilan kebijakan luar negeri telah berkembang di dalam studi ilmu komunikasi yang dikaitkan dengan hubungan internasional. Dua pendekatan yakni CNN Effect dan Manufacturing Consent digunakan sebagai alat analisis dalam mengkaji bagaimana relasi media massa baik itu televisi, koran maupun online dengan formulasi dan bahkan praktek politik luar negeri.

Studi mengenai hal ini di Indonesia baru disentuh dalam beberapa kajian terutama terkait dengan perubahan kebijakan luar negeri Indonesia terkait kasus nuklir Iran di Dewan Keamanan PBB tahun 2007 dan 2008. Dalam studi ini tampak bahwa pemerintah Indonesia mengambil sikap mendukung sanksi terhadap Iran pada tahun 2007 namun berubah sikap tahun 2008 menjadi abstain dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB. Kajian itu menunjukkan reaksi publik yang disuarakan melalui media dan juga sikap media memberikan dampak adanya pergeseran kebijakan luar negeri Indonesia.

Namun demikian masih diperlukan riset mengenai bagaimana media massa di Indonesia memberikan pengaruh terhadap kebijakan luar negeri melalui sejumlah studi kasus. Semakin mendalam kajian tentang peran media massa dalam kebijakan luar negeri maka akan memberikan kontribusi lebih besar terhadap studi peran media massa di Indonesia. Lebih dari itu studi mendalam dapat menghasilkan kerangka konseptual yang bermanfaat dalam pengembangan studi ilmu komunikasi yang berkaitan dengan pengaruhnya dalam kebijakan publik.

 

 

 

Reference

 

Anwar, Dewi Fortuna. 1994. Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

 

Anwar, Dewi Fortuna. 2010. “The Impact of Domestic and Asian Regional Changes      on Indonesian Foreign Policy”. Southeast Asian Affairs, pp. 126-141.

 

Anwar, Dewi Fortuna. 2010. “Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3, pp. 3754.

 

Alden, Chris and Amnon Aran. 2017. Foreign Policy Analysis: New Approaches. London: Routledge.

Al-Anshari, Mohamad Zakaria. 2016. The Role of Islam in Indonesia’s Contemporary      Foreign Policy. Thesis Victoria University of Wellington.

 

Baastø, Siri Sveinsdotter. 2013.The Media and Foreign Policy: A Study of the Media’s Role in The Intervention in Libya (2011). Thesis di The Department of International Environment and Development Studies, Norwegian University of Life Sciences (UMB).

 

Brody, Richard. 1994. “Crisis, War and Publik Opinion: The Media and Publik for      the President”. In W. Lance Bennet and David Paletz eds., Taken by Storm, Publik Opinion and U.S. Foreign Policy in the Gulf War. Chicago: University of Chicago ress.

 

Bennet, W. Lance. 1990. “Toward a Theory of Press-State Relations in the United States”. Journal of Communication 40: 103-25.

 

Baum, Matthew A. and Philip B.K. Potter. 2008. “The Relationships Between Mass Media, Public Opinion, and Foreign Policy: Toward a Theoretical Synthesis”.   The Annual Review of Political Science.

 

Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Plagrave Macmillan.

 

Buckley, B.1998. The News Media and Foreign Policy: An Exploration. Halifax, NS: Centre for Foreign Policy Studies, Dalhousie University.

 

Chong, Alan. 2007. Foreign Policy in Global Information Space Actualizing Soft Power. New York. Palgrave Macmillan.

 

Christopoulou, Niki. 2011. The Impact of media on the Formulation of Foreign Policy in Turkey and Greece 2004-2011. Thesis di Institute of Social Sciences,    Istanbul Bilgi University.

 

Clarke, Michael and Brian Whites (eds) 1995. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy System Approach. Hants: Edward Elgar Publishing Limited.

 

Cutler, Lloyd N. 1984. “Foreign Policy on Deadline”. Foreign Policy 56: 113-28.

 

Dosch, Jörn.2006. “The Impact of Democratization on the Making of Foreign Policy in Indonesia, Thailand and the Philippines.” Dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs 25 (2006), 5, pp. 42-70.

 

Entman, Robert. 1993.  “Framing: Clarification toward a Fractured Paradigm”. Journal of Communication, 43:4 (1993), 51-58.

 

Entman, R.M., 2004. Projections of Power: Framing News, Publik Opinion, and US Foreign Policy. Chicago: University of Chicago Press.

 

Gans, H.J. 2004. Democracy and the News. Oxford: Oxford University Press on Demand.

 

Gindarsah, Iis. 2012. “Democracy and Foreign Policy-Making in Indonesia: A Case Study of the Iranian Nuclear Issue, 2007–08.” Dalam Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs Volume 34, Number 3, December 2012 pp. 416-437.

 

Gwarzo, Bello Basiru Gwarzo. 2014. “The Press and Foreign Policy: An Examination of the Role of the Nigerian Press in the Government Decision to Intervene in the Liberian Civil War in 1990”. Dalam American International Journal of Social Science Vol. 3, No. 3, May 2014.

 

Herman, Edward S.1985. “Diversity of News: Marginalizing the Oposition”. Journal of Communication 35:135-46.

 

Hein, G.R., 1986. Soeharto’s Foreign Policy: Second-Generation Nationalism in Indonesia. Berkeley: University of California.

 

Hulme, Simon J. 2001. The Modern Media: The Impact on Foreign Policy. Thesis di Fort Leavenworth, Kansas.

 

Kusmawati, Flori Bertha Ratna.2008.Kontroversi Sanksi Dewan Keamanan PBB ke Iran dalam Pemberitaan Pers Indonesia.Skripsi di Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

Krisnayuzar , Galuh Adityo. 2010. Peranan Diplomasi Indonesia sebagai Anggota Dewan Keamanan PBB pada tahun 2007-2008 mengenai Program Nuklir Iran. Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

 

Livingston, Steven and Todd Eachus. 1995. “Humanitarian Crises and U.S. Foreign Policy: Somalia and the CNN Effect Reconsidered”. Political Communication 12: 413-29.

 

Ladan, B.M. 2015. The Impact of Mass Media on Nigeria’s Foreign Policy From 1999 to 2007. Lagos: Media.

 

Larson, James. 1988. Global Television and Foreign Policy. Headline Series #283. New York: Foreign Policy Association.

 

Marpaung, Timothy Daud Meilando. 2014. Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Menyelesaikan Sengketa Nuklir Iran. Skripsi di Program Studi : Ilmu Hukum,  Program Kekhususan: Hukum tentang Hubungan Internasional. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

 

Malek, A. 1997. News Media and Foreign Relations: A Multifaceted Perspective.  New York: Greenwood Publishing Group.

 

Miller, D.B. 2007. Media Pressure on Foreign Policy: The Evolving Theoretical Framework. New York: Macmillan.

 

Mintz, A. and DeRouen Jr. K. 2010. Understanding Foreign Policy Decision Making. Cambridge: Cambridge University Press.

 

Msengwa, M.A., 1981. The News Media and Foreign Policy in International Relations. Centre for Foreign Relations.

 

Mermin, Jonathan. 1997. “Television News and American Intervention in Somalia: The Myth of a Media-Driven Foreign Policy”. Political Science Quarterly, Vol. 112, No. 3 (Autumn, 1997), pp. 385-403.

 

Mukrimin. 2013. “The Influence of Mass Media in Political Change in Indonesia”. POLITIKA: Jurnal Ilmu Politik3(2), pp.57-67.

 

Murphy, Ann Marie. 2008. “Indonesia Returns to the International Stage: Good News for the United States”. Dalam Orbis, Volume 53, Issue 1, January 2009, Pages 65–79.

 

Murphy, Ann Marie. 2012. “Democratization and Indonesian Foreign Policy: Implications for the United States”. Dalam Asia Policy, Number 13, January 2012, pp. 83-111.

 

Nabbs-Keller, Greta. 2013. “  Reforming Indonesia’s Foreign Ministry: Ideas,      Organization and Leadership.” Contemporary Southeast Asia 35 No. 1 (2013): 56-    82.

 

Nacos, B.L., Shapiro, R.Y. and Isernia P. 2000. “Old or New Ball Game? Mass Media, Publik Opinion, and Foreign Policy in the post-Cold War World.” Decisionmaking in a Glass House: Mass Media, Publik Opinion, and   American and European Foreign Policy in the 21st Century. Oxford: Rowman & Littlefield, pp.1-7.

 

Nugraha, Ekky. 2014. Dukungan Indonesia terhadap Resolusi DK PBB 1747 Tentang Program Nuklir Iran. Dalam eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 2, 2014 : 401-410.

 

Nugraha, Dede. 2010. Konstruksi Pemberitaan Program Nuklir Iran (Analisis Framing pada Harian Republika dan Media Indonesia). Penelitian di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

 

Nicholas O. Berry. The Media and Foreign Policy in the Post-Cold War World. Freedom Forum Media Studies Center: Research Group.

 

Panagiotou, Nikos. 2003. The Role of Mass Media in Foreign Policy: The Case of Greek Press. Paper for 2nd LSE PhD Symposium on Modern Greece.

 

Palloshi, S. 2015. “The Influence of the CNN Effect and the Al Jazeera Effect on American Foreign Policy”. İLED2(2), pp.43-67.

 

Pahre, Robert (ed). 2006. Democratic Foreign Policy Making: Problems of Divided Government and International Cooperation. New York: Palgrave Macmillan.

 

Permana, Dana. 2009. Politik Luar Negeri Indonesia dan Dewan Keamanan PBB:Studi Kasus Peranan Indonesia dalam Penanganan Krisis Nuklir Iran di DK PBB Tahun 2006. Skripsi di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Sumatera Utara.

 

Putri, Inggried Christhiansend Purnomo. 2011. “Tuntutan Publik Islam di Tingkat Domestik pada Masa Pemerintahan SBY (2004-2009) terhadap Kebijakan Indonesia atas Kasus Nuklir Iran.” Dalam Jurnal Studi Hubungan Internasional. Vol 1, No 1.

 

Priatna. P.L.E. (Direktur Informasi dan Media Kementerian Luar Negeri RI). 2012. Media, Opini, dan Hubungan Luar Negeri: Sinergi Informasi. Forum  Bakohumas, Bogor.

 

Qodriyah, Khodijatul. 2008. Hubungan Diplomatik Iran-Indonesia: Studi Kebijakan      Pengembangan Nuklir Iran dan Pengaruhnya terhadap Hubungan Diplomatik Iran-Indonesia 2005-2007. Tesis di Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

 

Rajagukguk, Hosianna Rugun Anggreni. 2009. Sikap Kritis Parlemen terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Resolusi DK PBB tentang Isu      Nuklir Iran. Tesis di Universitas Indonesia

 

Robinson, P.1999. “The CNN Effect: Can the News Media Drive Foreign Policy?” Review of International Studies25(02), pp.301-309.

 

Robinson, Piers. 2001. “Theorizing the Influence of Media on World Politics      Modelsof Media Influence on Foreign Policy”. Dalam European Journal of      Communication, Vol 16(4): 523–544.

 

Sulistyo, Djoko dan Irfa Puspitasari.2008. Sikap Indonesia dalam Dewan Keamanan PBB : Krisis Pembangunan Instalasi Nuklir Iran dan Reaksi Publik dalam Negeri. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

 

Shaw and McCombs, “The Agenda-Setting Function of Mass Media”. Publik                                                                                                                   Opinion Quarterly 1972.

 

 

Robinson, Piers.2002. The CNN Effect: The Myth of News, Foreign Policy and Intervention. London: Routledge.

 

Serfaty, Simon. 1990. The Media and Foreign Policy. London: Palgrave Macmillan UK.

 

Soderlund, W.C. Nelson, R.C. and Briggs E.D. 2003. Mass Media and Foreign Policy: Post-Cold War Crises in the Caribbean. New York: Greenwood Publishing Group.

 

Sen, K. and Hill, D.T., 2006. Media, Culture and Politics in Indonesia. New York: Equinox Publishing.

 

Taylor, Philip M. 1997. Global Communications, International Affairs and the Media Since 1945. London: Routledge

 

Touri, Maria. 2006. Media – Government Interactions and Foreign Policy: A Rational Choice Approach to the Media’s Impact on Political Decision-Making and the Paradigm of the Greek-Turkish Conflict. Disertasi di Institute of Communications Studies. The University of Leeds.

 

Thune, Henrik. 2009. Beyond the CNN Effect towards a Constitutive Understanding      of Media Power in International Politics. Disertasi di Faculty of Social Sciences, University of Oslo.

 

Vatikiotis, M.R., 1993. Indonesia’s Foreign Policy in the 1990s. New York: Contemporary Southeast Asia.

 

Wibisono, Aria Teguh Mahendro. 2009. Political Elites and Foreign Policy: Democratization in Indonesia. Thesis di Leiden University.

 

Wirajuda, Muhammad Hadianto. 2014. The Impact of Democratisation on       Indonesia’s Foreign Policy: Regional Cooperation, Promotion of Political Values, and Conflict Management . Disertasi di The London School of Economics and Political Science.

 

Wirajuda, Hassan. 2008. Beyond the CNN Effect. Speech at At the Third Global Inter-     Media Dialogue Nusa Dua, Bali, 7 May 2008.

 

Yang, Jackson Y.M. 2015. From Rowing Between Two Reefs to Sailing in Two      Oceans: The End of “A Thousand Friends, Zero Enemies”? Thesis di Naval Postgraduate School, Monterey, California.

 

Yordanova, Tsvetelina. 2012. Media-International Relations Interaction Model. Sofia: Institute for Security and International Studies (ISIS).

Source: https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/JM/article/view/994

Pemilu Malaysia,Pertarungan Najib-Mahathir

Penulis: Asep Setiawan Kepala Media Research Center Metro TV Pada: Sabtu, 05 Mei 2018, 00:25 WIB Opini

Pemilu Malaysia,Pertarungan Najib-Mahathir

AFP PHOTO / Mohd RASFAN

PEMILU 9 Mei 2018 di Malaysia nanti secara tidak langsung mempertunjukkan persaingan dua tokoh besar. PM Najib Razak, 65, yang memimpin Barisan Nasional (BN) akan menghadapi mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad yang tahun ini berusia 93 tahun yang melakukan manuver dengan kelompok koalisi baru Pakatan Harapan (PH). Basis kedua koalisi ini relatif sama dengan basis politik aliran di Malaysia yang menyertakan etnik Melayu, Tiongkok, dan India.

Mengapa pertarungan dua tokoh ini akan menentukan? Bagaimanapun nama Mahathir adalah tokoh yang memiliki karisma dengan pengalaman memimpin negeri jiran selama 22 tahun. Tentu banyak catatan positif yang diwariskan Mahathir terhadap Malaysia, selain sikapnya yang keras.

Meski sudah berusia lanjut, Mahathir berani terjun kembali ke politik praktis karena antara lain melihat perilaku penyimpangan seperti sikap koruptif di kalangan pucuk pimpinan Malaysia.

Namun, PM Najib Razak bukanlah politisi baru di kancah dinamika politik aliran Malaysia. Najib putra pendiri dan PM kedua Malaysia Tun Abdul Razak Hussein. Najib merupakan tokoh sentral yang ingin mempertahankan citranya sebagai tokoh Malaysia terdepan, sekalipun harus berhadapan dengan mentornya. Kemenangan pemilu Mei ini menentukan nasibnya memegang kendali pemerintahan baik di hadapan partainya UMNO dan juga mitranya, Malaysia Chinese Association (MCA) dan Malaysian Indian Congress (MIC) yang masuk BN.

Andalan Mahathir
Apa yang menjadi andalan Mahathir dalam menghadapi pemilu kali ini? Modal kekuatan Mahathir tidak boleh dianggap enteng. Dengan semangatnya sebagai tokoh senior Malaysia, Mahathir masih menjadi magnet kaum Melayu di negeri ini. Rekam jejak Mahathir juga yang dapat diandalkan ialah bersihnya dari skandal korupsi yang justru sekarang melanda pemerintahan PM Najib Razak.

Dapat dikatakan, jika andalan kelompok pendukung Mahathir ialah nama besar mantan PM yang memerintah Malaysia dari 1981-2003. Dengan bekal nama Mahathir, ikon pemimpin ini dijadikan andalan merebut para pemilih.

Mahathir yang berbekal Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) yang didirikan pada 2016 hanya mendapatkan satu kursi di parlemen. Jika dihitung partai oposisi lainnya yang sekarang masuk Pakatan Harapan, jumlahnya cukup besar dengan kursi mencapai 77 kursi jika Partai Islam Semalaysia (PAS) diduga sudah dekat ke BN.

Partai Amanah, pemisahan dari Partai Islam Semalaysia (PAS) menguasai 7 kursi, sedangkan kelompok oposisi lain yang sudah cukup lama seperti Partai Keadilan Rakyat (PKR) yang didirikan mantan PM Anwar Ibrahim mencapai 28 kursi, dan Democratic Action Party (DAP) mencapai 36 kursi, masih konsisten tidak bergabung ke dalam BN.

Dengan adanya gabungan kekuatan Mahathir yang namanya jadi ikon Malaysia bergabung dengan tokoh oposisi lama yang digulingkannya, yakni Anwar Ibrahim, ini juga menjadi salah satu andalan koalisi harapan. Anwar Ibrahim yang digulingkan pada 1998 ikut pemilu dan menang, kemudian dilarang berpolitik sampai Juni 2018. Dengan kata lain, karena kepentingan bersama, Mahathir dan Anwar dipandang sedang rujuk menghadapi Pemilu 2018. Tentu kekuatan dua tokoh nasional Malaysia ini tidak dapat dianggap remeh Najib Razak.

Mahathir juga memiliki kekuatan isu yang jadi sorotan publik tahun terakhir, yakni skandal megakorupsi dana 1MDB yang diduga sekitar US$700 miliar masuk rekening pribadi Najib Razak.

Andalan Najib
Bergabungnya kekuatan Mahathir dan Anwar dalam Pakatan Harapan tidak serta merta meruntuhkan dominasi BN pimpinan Najib di Dewan Rakyat. Di tubuh parlemen Malaysia sekarang kekuatan koalisi Pakatan Harapan (PH) belum mengancam langsung BN.

Parlemen masih dikuasai Barisan Nasional (BN) dengan UMNO yang mengantongi 86 kursi, Malaysia Chinese Association (MCA) 7 kursi, dan Malaysian Indian Congress (MIC) 4 kursi, serta anggota koalisi BN lainnya 35, praktis menduduki mayoritas kursi dengan jumlah total 132 kursi lebih dari setengah kursi parlemen yang berjumlah 222. Jika PAS 13 kursi yang sekarang dekat BN dimasukkan ke koalisi pimpinan Najib Razak ini praktis sudah mengumpulkan 145 kursi.

Mengenai persepsi publik terhadap skandal korupsi ini menunjukkan hanya 3% warga yang mempertanyakan integritas Najib. Jadi, dapat dikatakan nama Najib masih menjadi jaminan kepemimpinan di Malaysia walaupun tingkat popularitasnya turun mencapai 20% pada 2015.

Najib juga masih bisa mengandalkan kinerja ekonomi Malaysia yang masih kuat dengan pertumbuhan 2017 mencapai 5,8 %, angka tertinggi sejak 2014. Hanya pertumbuhan tinggi ini tidak dinikmati semua warga karena tertahannya kenaikan gaji dan naiknya biaya hidup.

Dalam jajak pendapat pada Maret 2018, 42% pemilih masih mendukung Barisan Nasional. Angka di bawah 50% ini menguntungkan kelompok oposisi sehingga rata-rata tingkat popularitas Pakatan Harapan bisa mencapai 65%. Pemerintahan Najib menyadari kelemahan ini maka menjelang Pilihan Raya, pada Maret diadakan perubahan aturan mengenai pemetaan suara dan perolehan kursi parlemen.

Berdasarkan aturan baru ini pemerintah menyatukan daerah pendukung oposisi ke dalam satu konstituen. Konsekuensinya, kelompok oposisi hanya mendapatkan satu kursi meski suara yang dihimpun lebih banyak. Perubahan mendadak ini langsung menjadi heboh nasional di Malaysia. Namun, putusan ini jelas menguntungkan koalisi yang berkuasa.

Tidak hanya mengubah pemetaan perolehan suara, pemerintahan Najib pada 2 April lalu juga mengeluarkan UU Antiberita Palsu. Berdasarkan perangkat hukum baru ini, penyebar berita palsu dapat dihukum maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga 500 ribu ringgit (Rp1,8 miliar).

Di tengah hadirnya Akta Keamanan Dalam Negeri dan juga Akta Hasutan, PM Najib dan koalisinya akan leluasa memanfaatkan media baru tanpa diserang berita-berita bohong yang menjadi fenomena pemilu di beberapa negara. Dua perangkat politik ini juga menjadi kekuatan penguasa melanjutkan dominasinya di Malaysia.

Dengan lanskap persaingan dua tokoh besar ini-sementara Anwar masih dilarang berpolitik sampai Juni nanti-maka pemilu Malaysia menjadi perhatian internasional. BN bagaimanapun tengah mengalami kemerosotan terutama sejak Pemilu 2013, yakni kelompok partai pembangkang menikmati kenaikan jumlah kursi di parlemen.

Perubahan itu tidak hanya karena variasi isu, yakni oposisi menggunakan isu memajukan etnik Melayu agar hak bumiputera diperluas. Namun, juga memanfaatkan kehadiran Mahathir dengan Parti Pribumi Bersatu Malaysia, dengan isu yang sangat melekat kepada kepentingan mayoritas etnik Melayu dari sekitar 32 juta rakyat Malaysia.

http://www.mediaindonesia.com/read/detail/158972-pemilu-malaysiapertarungan-najib-mahathir.html

Kerangka Konseptual Studi Hubungan Internasional di Asia Tenggara

Salah satu unit analisa studi hubungan internasional adalah negara-bangsa (nation-state). Data tentang negara ini berlimpah sehingga memudahkan analisa hubungan internasional baik tingkat global maupun regional. Lemahnya lembaga supranasional dalam mengatur interaksi aktor negara ini menyebabkan fokus lebih ditekankan pada tingkat negara.

Dengan penekanan pada analisa tingkat negara ini maka banyak studi tentang perilaku negara, interaksi dan perbandingannya. Misalnya studi tentang pengambilan keputusan, motif kebijakan negara dan persepsi elit negara terhadap dunia internasional. Tidak kurang pula analisa tentang kepentingan nasional suatu negara.

Pendekatan tingkat analisa negara ini membawa pada tingkat analisa sistem negara atau sistem politik. Bahkan dengan menggunakan pendekatan sistem maka muncul istilah sistem internasional.

Dalam tataran sistem internasional, Morton Kaplan telah mengajukan enam tipe sistem yakni “balance of power”, loose bipolar, tight bipolar, universal, hierarchical dan unit veto. Sedangkan Stanley Hoffmann membuat pendekatan berdasarkan metode induktif yang menghasilkan “riset historis sistematik” atau sosiologi perbandingan historis.

Pakar hubungan internasional lainnya memfokuskan diri pada sistem internsional kontemporer. Ciri-ciri dasar dari sistem kontemporer ini seperti disebutkan antara lain Herz adalah sebagai berikut.

Pertama, universalitas. Ekspansi geografis dalam tingkat global yang disebabkan lahirnya negara-negara baru di Asia dan Afrika. Aktor negara telah bertambah dua kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun semenjak Perang Dunia II berakhir.

Kedua, tiadanya hukum dan ketertiban dalam sistem dan fragmentasi kekuatan. Hal ini berbeda sekali dengan pola kekuasaan yang berada dalam unit sistem yang disebut negara dimana monopoli kekuasaan dipegang negara atau lebih fokus pemerintah.

 

Ketiga, keunikan piramida kekuasaan yang bisa berbentuk bipolaritas dimana dua negara besar berinteraksi sebagai pusat pengambil keputusan, organisasi militer, koordinasi ekonomi dan kerja sama diplomatik.

Keempat, kehadiran aktor-aktor baru di sistem internasional. Negara memang masih jadi aktor dominan tetapi juga ada aktor universal (PBB) dan sejumlah organisasi regional antara lain ASEAN.

Kelima, menurunnya peran Eropa. Kemudian terjadilah peralihan kekuasaan dari pusat (Eropa) ke wilayah pinggiran yakni Uni Soviet dan ke seberang lautan yakni Amerika Serikat. Peralihan ini antara lain disebabkan berakhirnya kekuasaan negara Eropa, perpecahan kekuasaan dan ideologi dan mungkin pula disebabkan revolusi teknologi.

Keenam, perubahan teknologi besar-besaran terutama adanya pengembangan senjata nuklir dan rudal yang cenderung mengurangi pertahanan secara fisik dan perembesan kepada negara. Kekuasaan negara besar atas senjata nuklir ini memberikan perubahan mendasar pada sistem internasional. Kemungkina perang nuklir sangat terbuka sehingga setiap langkah yang sifatnya strategis akan menyebabkan perang global.

Ketujuh, karakteristik sistem kontemporer adalah bangkitkan kekuatan ideologi yang bahkan melahirkan Perang Dingin selama setengah abad. Dalam sistem yang berpusat di Eropa pada abad ke-19, konflik antar negara hanya untuk kekuasaan terbatas, prestise dan keuntungan tertentu. Kebangkitan ideologi yang saling bertentangan dari komunisme dan liberalisme yang disertai penemuan senjata nuklir telah melahirkan sistem yang didasarkan pada konsep presaingan global.

Kedelapan, ada jurang yang makin lebar antara tingkat kemajuan alat-alat penghancur massa (senjata nuklir) dengan tingkat kemajuan menuju tatanan internasional.

Meskipun sistem internasional secara umum memiliki ciri seperti itu namun perlu pula diperhatikan adanya sistem regional atau disebut pula sistem negara subordinat. Menurut Michael Brecher (1969),  berdasarkan analisa tersebut diatas maka sedikitnya ada tiga proposisi. Pertama, ada dua tingkat analisa yang besar yakni tingkat negara bangsa dan tingkat sistem.. Tingkat sistem ini melahirkan pembagian sistm subordinat, sistem dominan dan sistem politik global.

Kedua, dengan kerangka seperti itu maka sedikitnya ada lima sistem subordinat yakni Timur Tengah, Amerika, Asia Selatan, Eropa Barat dan Afrika Barat. Namun dapat ditambahkan pula dalam sistem kontemporer saat ini sistem Asia Selatan terbagi lagi menjadi sub sistem Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Ketiga, Sistem Dunia/Global yang merupakan rangkuman dari interaksi sistem dominan dengan sistem subordinat.

Untuk kajian hubungan internasional di Asia Tenggara dapat dikemukakan dua  pendekatan konseptual yakni pertama, pendekatan teksture dari Asia Tenggara dan struktur Asia Tenggara. Teksture berarti karakteristik luas lingkungan dimana terjadi interaksi berupa ekologi, sosial, budaya politik, ideologi dan elit politik. Sedangkan struktur merujuk pada ciri dasar pola hubungan diantara unit sistem yang disebut negara.

Sebelum membahas dua pendekatan itu maka terlebih dahulu perlu diketahui definisi tentang Asia Tenggara dimana ASEAN berada. Secara fisik Asia Tenggara dibagi dua yakni Asia Tenggara daratan dan kepulauan. Negara yang berada di daratan Asia antara lain Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar. Sedangkan yang berada di kepulauan adalah Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Filipina dan Brunei.

Core members atau anggota inti dari sistem Asia Tenggara ini adalah Indonesia , Vietnam, Thailand dan Malaysia. Artinya negara inilah yang banyak menentukan corak kawasan Asia Tenggara.

 

Teksture Kawasan

Pertama, bermula dari intensitas rendah dalam komunikasi dan transportasi menjadi semakin tinggi. Topografi Asia Tenggara menyulitkan terjadinya hubungan yang intensif diantara negara-negara di kawasan ini. Selain itu komunikasi diantara unit-unit politik Asia Tenggara dapat dikatakan masih minimal. Namun dengan kemajuan teknologi informasi maka interaksi itu makin lama makin tampak. Adanya pertemuan informal diantara para pemimpin negara menunjukkan semakin tinggi intensitas dalam komunikasi. Sementara itu alat transportasi juga makin berkembang. Antara Singapura dan Malaysia yang dipisahkan lautan sudah terjalin hubungan darat melalui kereta api dan mobil. Sedangkan Indonesia masih sulit berhubungan dengan negara tetangga lainnya misalnya Filipina. Hanya dengan melalui udara, kontak itu bisa terjalin.

Kedua, adanya konflik dan kesamaan dalam ideologi dan nilai. Sebagian negara mengikuti jalan komunis sebagian lagi mengikuti jalan liberal. Pernah terjadi bentrokan yang keras antara penganut komunis dan liberal ketika Perang Dingin. Namun konflik itu surut ketika Uni Soviet bubar dan Perang Dingin berakhir. Perbedaan ideologi tidak menjadi lagi sumber konflik di Asia Tenggara.

Ketiga, keanekaragaman sistem politik. Kalau dikaji negara-negara Asia Tenggara memiliki berbagai sistem politik yang unik. Thailand dan Malaysia masih memiliki sistem kerajaan yang sejajar atau beriringan dengan sistem politik modern. Singapura menerapkan sistem politik ala Barat tetapi masih memelihara tradisi Kong Hu Cu. Filipina sama sekali menganut sistem politik yang liberal persis seperti Amerika Serikat. Sebaliknya Brunei masih dipimpin seorang Sultan, mengingatkan pada sistem kesultanan masa lalu yang sekarang juga di Indonesia masih ada. Sementara itu negara-negara Indocina bertahan dengan sistem sosialis yang sentralistis.

Keempat, instabilitas internal dalam setiap unit sistem. Di setiap negara Asia Tenggara senantiasa terdapat akar-akar dan potensi konflik. Aceh dan Irian Jaya telah menjadi sumber konflik di Indonesia. Sebelumnya Timor Timur juga senantiasa bergolak. Namun setelah lepas tahun 1999, Timtim tidak lagi menjadi perhatian internasional. Di Filipina Selatan, sebagian bangsa Moro tidak puas terhadap perdamaian yang sudah ditandatangani Front Pembebasan Nasional Moro pimpinan Nur Misuari. Konflik etnik juga terjadi di Myanmar dan Thailand.

 

Ciri-ciri Struktural

Pertama, konfigurasi (distribusi dan tingkat) kekuasaan. Tidak ada anggota unit (negara) yang dominan di kawasan ini. Bila diperhatian dari dekat tidak ada satu negara yang dominan di Asia Tenggara. Negara paling besar wilayah dan penduduknya, Indonesia, tidak memainkan big brother bagi tetanggnya. Di sini dapat disebut bahwa tidak ada kekuatan hegemoni dari negara kawasan untuk mendominasi percaturan politik regional.

Kedua, integrasi organisasional mulai dari SEATO sampai ASEAN. Tingkat integrasi ini tergantung daripada karakter dan frekuensi interaksi diantar anggota unit subsitem Asia Tenggara. ASEAN telah menjadi faktor pendorong terjadinya integrasi dan harmoni di kawasan Asia Tenggara. Akhir tahun 1990-an sebanyak sepuluh negara Asia Tenggara resmi bergabung kedalam ASEAN.

Ketiga, hubungan antara sistem subordinat dengan dominan. Ciri struktural ini mengkaji bagaimana penetrasi sistem dominan seperti negara besar terhadap Asia Tenggara. Misalnya Amerika Serikat, Uni Soviet, Jepang  dan Cina. Dalam sistem kontemporer sekarang muncul pula aktor baru seperti Australia.

Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa anggota sistem Asia Tenggara yang sekarang bergabung dalam ASEAN terdiri dari 10 unit sistem. Anggota sistem ini memiliki teksture yang berbeda-beda baik dari sistem ideologi maupun pemerintahan. Hal ini akan berpengaruh dalam interaksi kawasan dan respons terhadap sistem yang dominan.

Sedangkan ciri struktural kawasan Asia Tenggara  telah menunjukkan peningkatan interaksi dan komunikasi seperti diperlihatkan dalam ASEAN. Bahkan dalam tingkat tertentu ASEAN menjadi forum   untuk berinterraksi dengan sistem  dominan seperti AS, Jepang dan Cina.