Prinsip ideal politik luar negeri Indonesia telah dinyatakan sebagai “bebas dan aktif”. Prinsip ini dikemukakan pertama kali pada bulan September 1948 oleh Almarhum Mohammad Hatta, Wakil Presiden yang pertama kali merangkap Perdana Menteri. Prinsip bebas dan aktif ini dipilih untuk menolak tuntutan sayap kiri agar Republik berpihak pada Uni Soviet, dengan demikian juga untuk menghindarkan diri dari tuduhan Belanda, dan juga untuk membuat jarak dengan Amerika Serikat. Disamping itu juga dimaksudkan sebagai upaya mendefinisikan peranan yang tepat bagi Indonesia dalam konflik antara dua negara besar.
Pada masa Soekarno terdapat tiga sasaran utama politik luar negeri Indonesia, yaitu: 1) mencari pengakuan internasional kemerdekaan Indonesia; 2) mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda yang ingin kembali ke Indonesia dalam memaksakan pemerintahan kolonialnya berdasarkan pada Deklarasi Ratu Wilhemnia tanggal 7 Desember 1942; 3) mencari penyelesaian sengketa dengan Belanda melalui negara ketiga sebagai mediator (penengah) atau melalui forum PBB.
Pada periode itu pula (1945 – 1965) terjadi pergeseran-pergeseran penting pada pelaksanaan politik luar negeri antara condong ke pihak Barat atau sebaliknya ke Timur. Hal ini tampak misalnya pada awal desa warsa 1950-an politik luar negeri Indonesia dikatakan sangat pro-Barat, khususnya di bawah pemerintahan Kabinet Hatta, Natsir, Sukiman dan Wilopo. Kemudian di bawah Kabinet Ali yang pertama, politik luar negeri Indonesia menjadi kurang pro-Barat.
Selanjutnya di bawah pemerintahan Kabinet Burhanudin, politik luar negeri Indonesia kembali pro-Barat, namun semenjak Kabinet Ali kedua politik luar negeri Indonesia menjadi semakin anti Barat dan pro-Timur, khususnya Blok Uni Soviet hingga awal dasawarsa 1960-an, bersamaan dengan perjuangan memperoleh kembali Irian Jaya. Dengan dilancarkannya politik konfrontasi terhadap Malaysia, politik luar negeri Indonesia tetap anti Barat, tetapi bersamaan dengan itu makin renggang pula hubungan Indonesia dengan Blok Uni Soviet dan semakin dekat dengan Republik Indonesia Cina (RRC), sampai jatuhnya Orde Lama pada pertengahan dasawarsa 1960-an.
Munculnya Orde Baru menandai era baru dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Perubahan-perubahan domestik ini banyak mempengaruhi format politik luar negeri RI yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. Asas bebas dan aktif masih tetap dipertahankan namun politik poros-porosan yang pernah dianut Indonesia ditinggalkan. Disamping itu Orde Baru meninggalkan politik luar negeri “mercu suar” yang juga banyak menyita perhatian para pengambil keputusan.
Politik Luar Negeri Indonesia pada zaman Orde Baru ditegaskan untuk “mengabdi kepentingan nasional dan Amanat Penderitaan Rakyat”. Politik luar negeri RI ditandai pula oleh pandangan realistis dan pragmatis. Realistis berarti memperhatikan kenyataan-kenyataan yang ada dalam konstelasi dunia serta penentuan-penentuan kebijaksanaan sesuai dengan kenyataan-kenyataan itu. Dalam pada itu pragmatis berarti penentuan kebijaksanaan yang berguna dan bermanfaat bagi kepentingan nasional.
Asas-asas anti-imperialisme dan kolonialisme, bebas dan aktif, serta persepsi mengenai kepentingan nasional diberi isi dan dilaksanakan atas dasar realisme dan pragmatisme. Atas dasar hal tersebut pula politik yang aktif dalam bentuk konfrontasi dibalik menjadi politik yang aktif dalam bertetangga baik. Persepsi tentang ancaman dari luar terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun regional sangat berkaitan bukan saja dengan stabilitas dalam negeri tetapi juga dengan ada atau tidak adanya konflik dengan negara tetangga.
Kepentingan nasional Indonesia yang pokok dicanangkan pada masa Orde Baru adalah pembangunan nasional dengan inti perhatian di bidang ekonomi. Untuk mencapai tahap-tahap pembangunan dalam negeri yang telah digariskan. Indonesia otomatis membutuhkan lingkungan eksternal yang mendukung. Maka dipilihlah kawasan Asia Tenggara yang karena keterkaitannya menjadi prioritas utama dalam politik luar negeri.
Hal ini misalnya tampak dari petunjuk Presiden Soeharto mengenai pelaksanaan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 pada tanggal 11 April 1973 yang antara lain menyatakan: 1) memperkuat dan mempererat kerjasama antara negara-negara dalam lingkungan ASEAN; 2) memperkuat persahabatan dan memberi isi yang lebih nyata terhadap hubungan bertetangga baik dengan tetangga Indonesia; 3) mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperoleh perdamaian dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara. Selanjutnya dalam GBHN tahun 1978 – 1983 dan GBHN tahun 1983 – 1988 fokus terhadap Asia Tenggara senantiasa dicantumkan.
Sebenarnya perhatian terhadap wilayah Asia Tenggara telah muncul sejak masa Soekarno. Namun demikian terdapat perbedaan dalam memandang kawasan ini, politik konfrontasi yang muncul memperlihatkan nuansa tersebut. Lagi pula implementasinya pada masa Orde Lama masih kurang menonjol.
Pada bulan Agustus 1966 Soeharto telah mengemukakan suatu pandangan mengenai suatu kerjasama Asia Tenggara yang akan merupakan wadah membina persahabatan dan kerjasama. Setahun kemudian, dengan pembentukan ASEAN, Indonesia berhasil mewujudkan kehendaknya untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara. Peran serta Indonesia yang aktif dan tak pernah terjadi sebelumnya dalam kerjasama kawasan merupakan upaya untuk mencapai tujuan lama dengan cara-cara baru.
Situasi internasional turut mendorong Indonesia untuk mengutamakan kawasan Asia Tenggara dalam pembinaan stabilitas politik dan keamanan. Dua dasawarsa terakhir situasi internasional masih diwarnai oleh persaingan Amerika Serikat dan Uni Soviet di bidang politik-militer. Keadaan ini banyak mempengaruhi kondisi wilayah Asia Tenggara yang dipandang dari sudut geografis saja bernilai strategis. Untuk mempertahankan keseimbangan kekuatan di Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik umumnya kedua negara adidaya membangun beberapa pangkalan militer. Amerika Serikat menempatkan pasukannya di pangkalan laut Subic dan pangkalan udara Clark di Filipina. Sementara itu Uni Soviet juga memiliki pangkalan militer yang sangat besar di Cim Ranh dan Da Nang, Vietnam.
Pada awal tahun 1970-an timbul perkembangan baru yakni pendekatan Amerika Serikat ke Republik Rakyat Cina. RRC juga mulai membuka hubungan dengan Jepang dan negara-negara Barat lainnya sebagai akibat program modernisasinya. Pada saat yang bersamaan hubungan RRC dan Uni Soviet memburuk, khususnya sejak insiden Ussuri 1969 dan pertentangan ideologi. Adanya hubungan baru ini turut mempengaruhi pada situasi Asia Tenggara, misalnya makin kuatnya permusuhan antara Vietnam – RRC. Vietnam sendiri banyak meminta bantuan ekonomi dan militer kepada Uni Soviet.
Pengelolaan tertib kawasan Asia Tenggara seperti yang dikehendaki Indonesia diikuti pula dengan pendekatan baru terhadap wilayah-wilayah lain, isyu-isyu internasional dan lembaga-lembaga internasional. Prinsip Lingkaran Konsentris (concentric circle) merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi politik luar negeri Indonesia
Prinsip Lingkaran Konsentris mencerminkan pola penyusunan prioritas dalam praktek politik luar negeri sehingga mampu memberikan kontribusi optimal terhadap pembangunan nasional. Di dalam Lingkaran Konsentris inilah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya menempati lingkaran terdalam yang bermakna kawasan Asia Tenggara menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan politik luar negeri RI semenjak Orde Baru Berkuasa.
Berdasarkan Prinsip Lingkaran Konsentris inilah Indonesia berusaha mewujudkan stabilitas politik dan keamanan serta kerjasama antar negara-negara di wilayah Asia Tenggara khususnya dalam kerangka ASEAN. Dalam hal menciptakan stabilitas politik dan keamanan, masalah yang dihadapi Indonesia adalah konflik Kamboja. Konflik ini tidak hanya melibatkan pihak-pihak yang bersengketa yakni Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja (PKDK) yang dipimpim Norodom Sihanouk, Pemerintah Heng Samrin di Kamboja dan Vietnam. RRC dan Uni Soviet turut berkepentingan dengan konflik Kamboja sebagai realisasi kebijaksanaan luar negerinya terhadap Asia Tenggara.